Sebuah Renungan & Pendidikan
Di
saat pagi yang cerah, seperti biasa saya mencoba untuk memeriksa surat
elektronik (email) milik saya. Setelah semalam saya menanggapi mailing
dari milist alumni UBAYA. Di sana seorang kolega bertanya akan Rancangan
Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Di kata terakhir diselipkan sebuah
guyonan yang sedikit menggelitik pandangan saya; “Btw.. Itu rancangan
kapan ya di sah kan?? Kok dari dulu rancangan terus?”
Di dalam benak saya terbesit: bener juga ya…..
Apa
yang mendasari belum disahkannya RUU KUHP??? yang dalam hal ini otak
saya jauh menerawang pada setiap kejadian yang menjadi korelasi dari
setiap dan antar kejadian.
Untuk
masalah pengesahan sebuah Undang Undang, pasti akan banyak timbul
opini. Dalam postingan ini coba saya paparkan sebuah opini yang
didasarkan pada penialian saya atas kehidupan dan rutinitas yang saya
tekuni di kota tempat tinggal saya saat ini dan secara umum di negara
kita yang sedang dilematis menghadapi lingkaran hitam sangat pekat.
Setelah
bergulirnya reformasi, masyarakat menghendaki sebuah kebebasan dalam
berpendapat dan beraktivitas. Namun sungguh sangat di sayangkan,
kebebasan yang dibuka terlalu besar hingga menimbulkan kebebasan yang
tak terbendung, dalam kalimat ini saya sampaikan tak terbendung ,
adalah karena sesungguhnya batasan atas kebebasan itu ada, namun hanya
sebuah wacana dan pandangan sebuah retorika belaka. Di mana antara kapasitas, potensi, dan ukuran
diri setiap individu sudah tidak lagi menjadi sebuah garis lintas yang
harus secara otomatis dan displin diri untuk dipatuhi, sehingga tercipta
piramida hukum (kepastian, keadilan, kemanfaatan) yang selalu menjadi dambaan bagi pencari keadilan.
Merujuk
pada tidak tersahkannya Undang Undang (UU) dan/atau ketentuan paraturan
di meja legislatif, di dalam benak saya langsung terlintas sebuah opini
terhadap kapasitas, potensi dan kemampuan para wakil kita di kursi
Legislatif (yang marak disebut dengan kursi dewan yang terhormat).
Khususnya menjelang berjalannya 1 hari pesta demokrasi
untuk Indonesia. Pemikiran saya lebih mengerucut pada fenomena ijasah
palsu maupun ijasah karbitan (S2 tanpa sekolah langsung dapat ijasah).
Fenomena
yang terjadi saat ini khususnya di kota tempat tinggal saya saat ini
banyak Caleg (Calon Legislatif) yang mencalonkan diri dengan menggunakan
ijasah palsu dan/atau ijasah karbitan. Sehingga tidak mampu
mencerminkan kondisi riil potensi diri masing - masing caleg, yang
artinya terdapat beberapa personal/individu di dalam kursi dewan adalah
di duduki orang yang tidak memiliki kompetensi. Hal ini menimbulkan efek
bola salju yang sangat dahsyat terhadap terbentuknya produk regulasi
hasil paripurna anggota legislatif. Belakangan sangat banyak produk
regulasi yang dihasilkan seringkali tidak mampu memenuhi prinsip
piramida hukum. Pada saat diterapkan produk peraturan tersebut nyata -
nyata akan berimbas pada dirinya sendiri. Berangkat dari hal tersebut,
pembentukan sebuah produk legislatif cenderung terbentuk dengan sangat
lamban.Belajar dari permasalahan munculnya KPK yang kinerjanya sangat
fenomenal (sangat positif menurut opini saya) namun mengejutkan sejumlah
anggota dewan. Nah hal ini menyebabkan anggota dewan yang terhormat
selalu berkaca pada posisi masing - masing sebelum menentukan/memutusk
an regulasi (apakah dirinya bakal terjerat atau terbebas dalam jeratan
hukum, apakah produk ini menghasilkan keuntungan besar ataukah sebuah
produk kering, yang pada akhirnya nyata - nyata produk regulasi hanya
didasarkan pada kepentingan individu dan atau kelompok individu guna
meraih keuntungan yang seluas - luasnya atas modal yang telah
dikeluarkan sebelumnya.
Apa yang salah di negara ini?
Sudah tidak adakah semangat juang 45 yang mengalir dalam darah pahlawan pejuang kemerdekaan
Sudah tidak adakah semangat juang 45 yang mengalir dalam darah pahlawan pejuang kemerdekaan
Apakah sejarah itu hanya sebuah pemanis untuk meraih kekuasaan saja?
Menangiskah dirimu PAHLAWAN?
Bagaimana dengan anda??? Siapkah anda memilih pejuang anda dalam pentas Legislatif?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar