Minggu, 31 Agustus 2014

Sebuah Renungan & Pendidikan

Di saat pagi yang cerah, seperti biasa saya mencoba untuk memeriksa surat elektronik (email) milik saya. Setelah semalam saya menanggapi mailing dari milist alumni UBAYA. Di sana seorang kolega bertanya akan Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Di kata terakhir diselipkan sebuah guyonan yang sedikit menggelitik pandangan saya; “Btw.. Itu rancangan kapan ya di sah kan?? Kok dari dulu rancangan terus?”
Di dalam benak saya terbesit: bener juga ya…..
Apa yang mendasari belum disahkannya RUU KUHP??? yang dalam hal ini otak saya jauh menerawang pada setiap kejadian yang menjadi korelasi dari setiap dan antar kejadian.
Untuk masalah pengesahan sebuah Undang Undang, pasti akan banyak timbul opini. Dalam postingan ini coba saya paparkan sebuah opini yang didasarkan pada penialian saya atas kehidupan dan rutinitas yang saya tekuni di kota tempat tinggal saya saat ini dan secara umum di negara kita yang sedang dilematis menghadapi lingkaran hitam sangat pekat.
Setelah bergulirnya reformasi, masyarakat menghendaki sebuah kebebasan dalam berpendapat dan beraktivitas. Namun sungguh sangat di sayangkan, kebebasan yang dibuka terlalu besar hingga menimbulkan kebebasan yang tak terbendung, dalam kalimat ini saya sampaikan tak terbendung , adalah karena sesungguhnya batasan atas kebebasan itu ada, namun hanya sebuah wacana dan pandangan sebuah retorika belaka. Di mana antara kapasitas, potensi, dan ukuran diri setiap individu sudah tidak lagi menjadi sebuah garis lintas yang harus secara otomatis dan displin diri untuk dipatuhi, sehingga tercipta piramida hukum (kepastian, keadilan, kemanfaatan) yang selalu menjadi dambaan bagi pencari keadilan.
Merujuk pada tidak tersahkannya Undang Undang (UU) dan/atau ketentuan paraturan di meja legislatif, di dalam benak saya langsung terlintas sebuah opini terhadap kapasitas, potensi dan kemampuan para wakil kita di kursi Legislatif (yang marak disebut dengan kursi dewan yang terhormat). Khususnya menjelang berjalannya 1 hari pesta demokrasi untuk Indonesia. Pemikiran saya lebih mengerucut pada fenomena ijasah palsu maupun ijasah karbitan (S2 tanpa sekolah langsung dapat ijasah).
Fenomena yang terjadi saat ini khususnya di kota tempat tinggal saya saat ini banyak Caleg (Calon Legislatif) yang mencalonkan diri dengan menggunakan ijasah palsu dan/atau ijasah karbitan. Sehingga tidak mampu mencerminkan kondisi riil potensi diri masing - masing caleg, yang artinya terdapat beberapa personal/individu di dalam kursi dewan adalah di duduki orang yang tidak memiliki kompetensi. Hal ini menimbulkan efek bola salju yang sangat dahsyat terhadap terbentuknya produk regulasi hasil paripurna anggota legislatif. Belakangan sangat banyak produk regulasi yang dihasilkan seringkali tidak mampu memenuhi prinsip piramida hukum. Pada saat diterapkan produk peraturan tersebut nyata - nyata akan berimbas pada dirinya sendiri. Berangkat dari hal tersebut, pembentukan sebuah produk legislatif cenderung terbentuk dengan sangat lamban.Belajar dari permasalahan munculnya KPK yang kinerjanya sangat fenomenal (sangat positif menurut opini saya) namun mengejutkan sejumlah anggota dewan. Nah hal ini menyebabkan anggota dewan yang terhormat selalu berkaca pada posisi masing - masing sebelum menentukan/memutusk an regulasi (apakah dirinya bakal terjerat atau terbebas dalam jeratan hukum, apakah produk ini menghasilkan keuntungan besar ataukah sebuah produk kering, yang pada akhirnya nyata - nyata produk regulasi hanya didasarkan pada kepentingan individu dan atau kelompok individu guna meraih keuntungan yang seluas - luasnya atas modal yang telah dikeluarkan sebelumnya.
Apa yang salah di negara ini?
Sudah tidak adakah semangat juang 45 yang mengalir dalam darah pahlawan pejuang kemerdekaan
Apakah sejarah itu hanya sebuah pemanis untuk meraih kekuasaan saja?
Menangiskah dirimu PAHLAWAN?
Bagaimana dengan anda??? Siapkah anda memilih pejuang anda dalam pentas Legislatif?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar