Rabu, 13 Agustus 2014

Duta Besar indonesia untuk jepang

H.E Yusron Ihza Mahendra
Yusron Ihza Mahendra dilantik sebagai Duta Besar (Dubes) Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Kerajaan Jepang merangkap Federasi Mikronesia oleh Presiden Republik Indonesia, tanggal 24 Desember 2013. Ia memulai hari kerjanya yang pertama di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Tokyo pada tanggal 27 Januari 2014 dan menyerahkan Surat Kepercayaan (Letter of Credentials) kepada Kaisar Akihito pada 24 Februari 2014, atau kurang dari satu bulan sejak hari kerjanya yang pertama tadi. Beragam pengalaman telah ditempuh Dubes Yuron jauh sebelum Ia diangkat mewakili Indonesia sebagai Dubes di Negeri Sang Matahari Terbit ini. Pria lulusan Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (1986) ini tidak asing dengan negara, masyarakat atau pun kebudayaan Jepang. Hal ini terutama dikarenakan sebelum menjadi Dubes, Ia pernah menetap selama kurang lebih 13 tahun untuk belajar dan bekerja di negeri paling terkemuka di Asia ini.
Gelar Master of Law (1996) dan juga gelar Doktor (Ph.D) bidang Ekonomi Politik Internasional (1998) diperoleh Dubes Yusron dari Universitas Tsukuba, yang terletak di Tsukuba Science City, sekitar 45 menit dari Kota Tokyo. Disertasi yang ditulis dalam Bahasa Jepang yang berjudul ‘Mitos Model Pembangunan Flying Geese’ (yang merupakan sanggahan terhadap model pembangunan ekonomi Asia yang pada masa itu sedang dielu-elukan dunia – dan bahkan diadopsi Bank Dunia sebagai model pembangunan ekonomi yang pantas ditiru), adalah disertasi yang menggugat kesahihan dan keabsahan ilmiah model pembangunan ekonomi tersebut.
Dalam disertasi itu, Dubes Yusron berhasil membuktikan ketidakbenaran dan ketidakberlakuan model itu di dunia empirik. Lebih jauh, ia juga berhasil membuktikan bahwa model itu bukanlah buah pikiran original pembuatnya, melainkan sebuah karya plagiat yang ditulis pada penghujung abad ke 19.
Di tengah dunia yang sedang terpukau terhadap “Fenomena Keajaiban Ekonomi Asia” pada masa itu, Dubes Yusron dengan berani mengatakan bahwa tidak ada yang ajaib dengan ekonomi Asia. Lebih dari itu, Ia bahkan mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dan industri Asia yang pesat saat itu hanyalah pertumbuhan di atas kertas belaka. Pertumbuhan tersebut, menurutnya, adalah pertumbuhan semu (pseudo-development), di mana ‘pohon-pohon industri’ Asia (kecuali Jepang) ibarat “pohon-pohon industri” yang ditanam di dalam pot serta tidak memiliki akar di bumi Asia. Dubes Yusron berargumentasi lebih lanjut bahwa bila “iklim” memburuk, maka “pohon-pohon industri dalam pot” ini akan dipindahkan oleh pemiliknya (para investor asing) ke negara-negara lain; dan bumi Asia akan menjadi gersang.
Singkat kata, menurut Dubes Yusron, perekonomian Asia di luar Jepang saat itu adalah perekonomian yang tidak sehat. Dan, karena itu, langit Asia yang seolah-olah cerah akibat “keajaiban” (yang sesungguhnya tidak ajaib itu) akan diselimuti kabut dan bahkan diterjang badai. Pemikiran-pemikiran seperti ini tidak hanya ia tulis dalam disertasinya, melainkan juga di kolom-kolom analisa ekonomi salah satu harian terbesar dan berpengaruh di Indonesia.
Sebagaimana lazimnya pemikiran-pemikiran yang menentang mainstream atau yang mendahului semangat zaman (betapa pun hanya selangkah di depan), pemikiran-pemikiran Dubes Yusron kala itu tidak mendapat tempat di kalangan para akademisi penganut “Paham Keajaiban Ekonomi Asia” yang sedang berada di puncak kejayaannya.
Di Universitas Tsukuba sendiri, Dubes Yusron hampir gagal meraih gelar Ph.D karena tim penguji menganggap pemikiran tadi bertentangan dengan semangat zaman sehingga mereka cemas untuk menggelar Sidang Promosi Doktor bagi dirinya. Setelah enam bulan terlambat dari jadwal yang seharusnya dan setelah beasiswanya terputus, sidang promosi itu akhirnya digelar juga. Di dalam sidang, disertasi tadi hanya dianggap sebagai disertasi yang biasa-biasa saja dan Dubes pun Yusron lulus tanpa predikat cum laude, summa cum laude, dan apalagi magna cum laude. Dia menerima hal ini sebagai kenyataan, walaupun terasa pahit bagi dirinya.
Akan tetapi, beberapa bulan setelah sidang promosi doktor di atas, sebuah peristiwa besar terjadi dalam perekonomian Asia. Krisis nilai tukar mata uang Asia pada tahun 1997, yang kemudian berubah menjadi Krisis Ekonomi Asia tiba-tiba saja datang dan melibas. Ekonomi Asia (termasuk Indonesia) luluh-lantak dan meningggalkan akibat berkepanjangan. Dengan jatuhnya nilai tukar Rupiah sebesar lima kali lipat terhadap dolar Amerika (dan juga terhadap mata uang lainnya), maka penghasilan per kapita rakyat Indonesia bagaikan terjun bebas dan terperosok ke dalam jurang yang dalam. Serta-merta, rakyat Indonesia pun menjadi lima kali lipat lebih miskin dari sebelumnya. Tak hanya itu, aset negara-negara Asia yang paceklik dan terbelit hutang pun berpindah tangan melalui pembelian dengan harga yang amat murah, mirip sebuah fire-sale. Kata “buying Asia” pun menjadi amat populer, dan kejadian ini mengantar jatuhnya rezim Suharto yang telah berkuasa di Indonesia lebih dari tiga puluh tahun lamanya.
Tanpa memerlukan penjelasan yang panjang, suka atau tidak, peristiwa di atas menjadi bukti yang nyata bahwa apa yang dikatakan Dubes Yusron dalam disertasinya atau tulisan-tulisannya yang lain merupakan kebenaran dan sekaligus juga kenyataan.
Kenyataan di atas telah melahirkan semacam rasa bersalah (guilty feeling) di kalangan mentor Dubes Yusron di Universitas Tsukuba. Untuk menebus rasa bersalah ini, beberapa professor penguji dalam Sidang Promosi Doktor yang disebutkan di atas tadi meminta Dubes Yusron membuat ringkasan disertasi, menggabungkannya dengan tulisan para professor yang lain, dan dengan tergesa-gesa menerbitkannya menjadi buku yang berjudul “The End of Flying Geese Model: Analyzing the Asian Economy”, yang diterbitkan oleh Penerbit Nihon Keizai Hyouron-sha pada tahun 1998. Dan, Dubes Yusron pun serta-merta diangkat sebagai peneliti di TARA (Tsukuba Research Alliance) Project.
Tulisan Dubes Yusron di atas dua kali disanggah oleh ekonom kondang Jepang dalam dua buah jurnal ilmiah di negeri itu. Dubes Yusron amat gembira dan telah bersiap-siap melakukan polemik di pentas dunia ilmu pengetahuan Jepang dan bahkan juga di dunia. Ini saatnya saya tampil dan untuk mendapat pengakuan, pikirnya kala itu. Akan tetapi, kenyataan ternyata berkehendak lain. Pada tahun 2002, Dubes Yusron justru dipanggil pulang ke Indonesia untuk memegang jabatan penting yaitu menjadi Penasehat Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia. Oleh karenanya, maka, mimpi untuk mendapat pengakuan tadi pun terhambat sehingga tetap menjadi mimpi yang tidak kunjung menjadi nyata.
Sekarang ini, buku Dubes Yusron di atas tidak lagi beredar di toko-toko buku di Jepang. Akan tetapi satu jilid disertasi yang disebut sebelumnya masih tersimpan rapi di Perpustakaan Nasional Jepang di Ueno, di jantung Kota Tokyo, dan, satu jilid lagi di Perpustakaan Pusat Universitas Tsukuba.
Beberapa mentor Dubes Yusron, melalui tulisan-tulisan ilmiah, belakangan ini mulai bergerak untuk mengangkat nama Dubes Yusron guna mencari pengakuan kalangan akademisi. Yaitu, pengakuan bahwa Model Pembangunan “Flying Geese” sebagai sebuah teori ekonomi telah lama tumbang. Dan, teori itu tumbang di tangan Dubes Yusron pada masa lebih dari satu setengah dasawarsa yang silam.
Sebagai pencinta ilmu pengetahuan dan juga sebagai wartawan, Dubes Yusron telah menulis beberapa karya ilmiah dalam bahasa Jepang. Di antaranya, adalah ”ASEAN-Japan Relations: From Past to the Future” dalam Hirakawa Hitoshi dan K. Ishikawa (ed.), (2001), “New East Asian Economy”, (Kyoto: Minerva); dan, “Change in World Structure: its Impact to ASEAN-Japan Relations”, dalam “ASEAN-Japan in a Changing Global Political and Economic Environment”, (1987), (Tokyo: NIRA).
Putra asli Bangka Belitung yang fasih berbahasa Jepang ini juga berkesempatan menjadi koresponden (dan akhirnya Kepala Perwakilan) salah satu Harian terkemuka Indonesia (1995-2000) untuk wilayah peliputan Jepang. Pengalaman sebagai wartawan membawanya berkenalan dengan para politisi, para petinggi, dan para pejabat penting pemerintahan Jepang, serta membuatnya berhadapan langsung dengan berbagai kejadian penting di Jepang. Termasuk di dalamnya, adalah Gempa Bumi Besar Kobe tahun 1995.
Saat gempa di atas, Dubes Yusron terjun langsung ke daerah bencana dan meliput secara mendalam peristiwa Gempa Bumi Besar Kota Kobe, satu hal yang menimbulkan kesan tersendiri pada diri mantan Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia-Jepang ini. Setiap peringatan Gempa Besar Kobe dalam tahun-tahun berikutnya, Ia selalu menulis dalam kolom khusus edisi peringatan bencana gempa Kobe yang diterbitkan di salah satu harian terkemuka Indonesia. Sebagai wartawan, Dubes Yusron tidak hanya menulis berita tentang Jepang, melainkan juga menulis feature-feature yang bersifat memperkenalkan budaya, pendidikan, serta kehidupan masyarakat Jepang kepada masyarakat Indoesia.
Dalam perjalanan karirnya, Dubes Yusron pernah mengemban beberapa jabatan penting, baik dalam bidang pemerintahan maupun politik. Sekembalinya ke Indonesia, ia dipercaya menjadi Penasehat khusus Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Bidang Kerjasama Ekonomi Asia Timur (2002-2003) seperti telah disebut sebelumnya. Dalam bidang politik, Ia pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (2004-2009), yaitu Komisi yang menangani isu-isu politik luar negeri dan pertahanan.
Dalam masa bakti di atas, Dubes Yusron terlibat aktif dalam proses ratifikasi Piagam ASEAN yang nyaris gagal (2008), yang menjadi dasar dan titik awal pembentukan Perutusan Tetap ASEAN di Jakarta sekarang ini. Dubes Yusron juga turut berperan besar dalam reformasi sektor pertahanan dan keamanan Indonesia dengan membentuk Tim Pengkaji Alutsista (alat utama sistem persenjataan) Indonesia.
Sebagai Dubes RI di Jepang, Dubes Yusron berkeinginan memajukan sektor pertanian dan sektor pangan Indonesia agar dapat menembus pasar Jepang dan juga meningkatkan kerja sama di bidang pertahanan. “Negara kuat dan rakyat makmur“ adalah cita-cita Dubes Yusron. Karena itu, tidak mengherankan jika semasa menjabat sebagai anggota parlemen, Ia lantang menyuarakan ide untuk menjadikan industri pertahanan sebagai lokomotif untuk menarik gerbong perekonominan nasional.
Lahir di Belitung Timur, Provinsi Bangka Belitung, tahun 1958, suami Dr. Dewi Lusiana, MBA ini aktif mendiskusikan masalah-masalah ekonomi. Bahkan, saat-saat di meja makan sekalipun. Di luar kesibukan memimpin KBRI Tokyo, Dubes Yusron menikmati waktu luangnya dengan membaca karya-karya sastra, menulis, dan menikmati musik. Ia mencintai benda-benda seni, antara lain bonsai dan suiseki. Dia juga merupakan kolektor pipa, alat merokok yang makin hari semakin langka dan ditinggalkan orang
sumber : KBRI Tokyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar