Jumat, 13 Juni 2014

SEJARAH PEMBENTUKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU


SEJARAH PEMBENTUKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU
A.      KILAS  BALIK  PERJALANAN  PANJANG
Perjalanan pembentukan Provinsi Kepulauanan Riau yang di singkat Prov. Kepri memerlukan perjuangan yang tidak mudah menguras pikiran tenaga tanpa pamrih dari berbagai unsur dan elemen masyarakat yang berada di Kepulauan Riau maupun yang berada di luar kepulauan Riau,  perlu diketahui bersama bahwa Provinsi Kepulauan Riau dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 tanggal 24 September 2002. Disyahkan oleh DPR RI dengan hak inisiatif DPR RI melalui suatu proses yang jarang digunakan  oleh badan legislatif sejak zaman Orde baru. Pembentukan Provinsi Kepri adalah hasil jerih payah perjuangan panjang rakyat dan tokoh-tokoh masyarakat Kepulaun Riau. Penjelasan sejarah pembentukan Provinsi Kepulauan Riau ini telah ditulis oleh Bappeda Provinsi Kepulauan Riau tahun 2009 dalam sebuah buku volume I dengan judul “Provinsi Kepulauan Riau membangun Hari Depan”.

Pembentukan provinsi Kepulauan Riau berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 tanggal 24 September 2002 ini disetujui dan ditindak lanjuti Pemerintah Pusat dengan  dikeluarkannya Keputusan Pemerintah     (Kepres) tanggal 1 Juli 2004, sebagai provinsi baru yang ke-32. Pada tanggal 1 Juli 2004 itu pula, Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno atas nama Presiden Republik Indonesia Ibu Megawati Soekarnoputri melantik Drs. H. Ismeth Abdullah sebagai pelaksana tugas ( caretaker ) Gubenur Kepulauan Riau.
Pada awalnya, Kepulauan Riau ( Kepri ) adalah salah satu kabupaten dari provinsi induk, Provinsi Riau, yang sudah terbentuk pada tahun 1958 berdasarkan UU Nomor 61 tahun 1958. Waktu itu, Provinsi Riau yang semula masuk dalam Provinsi Sumatera Tengah dan beribukota di Bukittinggi, terdiri dari Daerah Tingkat Dua Kepulauan Riau, Bengkalis, Kampar, Indragiri dan Kotapraja Pekanbaru.
Ibu kota Provinsi Riau waktu itu adalah Tanjungpinang. Kemudian dipindahkan ke Pekanbaru pada tahun 1959. Pindahnya ibukota Provinsi Riau dari Tajungpinang ke Pekanbaru mendasari suatu perubahan penting dalam sejarah perkembangan sosial, ekonomi dan politik di Kepri. Tanjungpinang yang awalnya adalah pusat perdagangan, budaya dan sejarah selama berabad-abad, berubah menjadi kawasan pinggiran dari Provinsi Riau, menyebabkan Kepri tidak lagi menjadi penting dan bermakna dalam kejayaan di jalur pelayaran dagang di Selat Melaka yang telah berlangsung sejak 1722.
Setelah berakhirnya masa keemasan Sriwijaya, Riau terus membangkitkan kembali tradisi kemaritiman Sriwijaya yang berlangsung selama berabad-abad.
Dengan berpindahan ibukota Provinsi Riau waktu itu ke Pekanbaru, tradisi kemaritiman itu kini berubah.  Pembangunan  yang  semula  berorientasi  maritime (karena sesuai dengan letak geografis Kepri) kini berorientasi daratan atau benua. Kawasan seluas 251.810,71 km2 ( 96 % laut dan 4 % daratan ), dengan sebaran 2.408 pulau yang semula memiliki peran ekonomi dan potensi yang cukup besar untuk dibangkitkan, cenderung makin ditinggalkan.
            Kawasan pulau-pulau nyaris tidak lagi tersentuh pembangunan. Bahkan potensi Bintan dengan tambang bauksit Singkep dengan kekayaan timahnya tidak terlalu diutamakan. Sarana dan prasarana serta pembangunan fisik di berbagai desa, kecamatan dan pulau-pulau yang bertaburan sangat kurang. Kalaupun ada, hanya dibangun oleh perusahaan.
            Lama kelamaan Kepri hanya tumbuh secara alami dengan kemampuan sendiri. Kepri kembali mengandalkan aktivitas ekonomi melalui pelayaran dan perdagangan tradisional antar pulau, memanfaatkan kawasan pertumbuhan ekonomi Singapura dan Malaysia.
            Sektor-sektor kehidupan lainnya seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, perikanan, pertanian, perkebunan, serta industri tumbuh lebih lambat dan kurang memberi perubahan kesejahteraan rakyat di kepulauan ini. Mulanya sekalipun ibukota sudah pindah ke Pekanbaru dan Kepri semakin terpinggirkan, kehidupan ekonomi masih tetap tumbuh dan kawasan ini tetap berkembang.
 Namun pada tahu 1961, ketika terjadi konflik antara Indonesia dan Malaysia, terjadi perang dan bahkan putusnya hubungan diplomatik, Kepri yang berada pada perbatasan Semenajung Malaya dan Singapura, mengalami berbagai perubahan kebijakan yang mengakibatkan penderitaan bagi rakyat di kawasan ini. Hubungan emosional dan kekeluargaan dengan penduduk di Semenanjung itu, yang terbina oleh kesamaan asal usul dalam rentang sejarah yang panjang, menjadi terputus. 
            Konfrontasi meyebabkan pemerintah Indonesia mengambil beberapa kebijakan politik maupun ekonomi. Di antaranya melarang kapal-kapal dari Singapura dan Semenanjung Malaya beroperasi di Indonesia, diikuti dengan larangan pengunaan mata uang dollar Singapura dan uang Malaysia sebagai alat pembayaran di Kepri. Bersama itu, pemerintah pusat memberlakukan mata uang KRRP ( Rupiah Kepulauan Riau ) pada 15 Oktober 1963, serta memungut bea dan cukai di Kepri.
 Selain itu, dibuat pula kebijakan yang memasukkan Kepri ke dalam wilayah pabean Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Penganti UU  No. 8 tahun 1963 tanggal 10 November 1963. kerena kebijakan ini bertujuan juga untuk meningkatkan pendapatan pemerintah, barang-barang yang masuk dari Sumatera dan Riau Daratan akan dikenai pajak. Akibatnya semakin menghambat perdagangan antara Kepri dan daratan Sumatera.
            Bahkan pembayaran gaji para pegawai negeri sipil dan militer di Kepri, khususnya Tanjungpinang, Lingga, Karimun dan Natuna ( Pulau Tujuh ) dilaksanakan dengan menggunakan mata uang rupiah.
            Perubahan kebijakan ini sangat meyulitkan rakyat di Kepri karena terjadi pula perubahan sistem perdagangan di pulau ini. Perdagangan yang sejak berabad-abad dilakukan secara bebas dan langsung karena begitu dekatnya jarak, kini berubah. Singapura misalnya, yang sejak lama merupakan pasar bagi hasil-hasil komoditas pertanian, perikanan dan pertenakan serta perkebunan, pun terhenti. Barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari berasal dari Singapura dan Malaysia jadi sulit didapat. Perdagangan tradisional bahkan perdagangan barter antara Kepri dengan Malaysia dan Singapura langsung terhenti dan dilarang. Masa-masa konfrontasi adalah masa paling sulit bagi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Kepri.
            Kebijakan pemerintah pusat yang bertujuan memblokade ekonomi Singapura, kemudian merubah jalur perdagangan hingga Thailand, Filipina dan bahkan Jepang. Namun karena jarak tempu yang jauh  dan semakin memburuknya kehidupan masyarakat, mulai timbul perdagangan gelap dan penyelundupan dari dan ke Singapur. Pada awal nya hanya untuk kebutuhan pokok sehari-hari, lalu berkembang menjadi perdagangan illegal berbagai hasil bumi dan komoditas. Banyak penduduk mulai menjual hasil bumi mereka secara diam-diam ke Singapura.
            Kebijakan blokade ekonomi berlanjut dengan pemutusan perdagangan dan hubungan ekonomi dengan Malaysia, serta menasionalisasi badan usaha Malaysia dan Inggris, baik di Kepri maupun Riau Daratan. Akibat lebih jauh adalah terjadinya perdagangan gelap berbagai komoditas, terutama bahan-bahan baku industri di Singapura.
            Agustus 1966 itu kemudian berlangsung damai dan lancar, namun berbagai masalah ekonomi terutama lalu lintas perdagangan masih memerlukan proses yang panjang.
            Berbagai langkah pemerintah pusat setelah masa konfrontasi berakhir, dilakukan untuk memulihkan kehidupan ekonomi didaerah ini. Kedekatan dengan Malaysia dan Singapura dalam membangkitkan perekonomiannya, terutama dalam mengelola pelabuhan internasionalnya, mulai mempengaruhi kebijakan pusat. Pemerintah pusat mulai mengalihkan perhatiannya ke Kepulauan Riau, terutama Batam, guna ikut memanfaatkan jalur perdagangan dunia yang paling ramai dan penting di belahan timur.
            Untuk merealisasikannya, pemerintah pusat mengembangkan Pulau Batam menjadi daerah industri khusus, guna mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.  Batam dibangun  sebagai kawasan industri pada tahun 1971 dengan membentuk Badan Otorita Batam.
            Selain mengembangkan Pulau batam, pemerintah juga menggesa pembagunan ekonomi Kepulauan Riau ( dan daerah lainnya termasuk Riau ) pada tahun 1990. Di  antaranya adalah dengan menjalin kerjasama regional dengan membentuk kawasan segitiga pertumbuhan ekonomi Singapura-Johor-Riau ( Sijori )yang dikenal sebagai IMS-GT atau Indonesia Malaysia Singapore Growth Triangle.
            Langka ini ingin memaju pertumbuhan seraya bersepakat dengan Singapura, Johor ( Malyasia) dan Riau ( Indonesia ). Bertujuan untuk memadukan kekuatan ekonomi secara kompetitif pada tiga kawasan itu menjadi suatu kawasan pertumbuhan ekonomi yang menarik bagi investor Internasional .
            Indonesia dengan keunggulan sumber daya alam serta lahan di Kepri serta modal dan keahlian Singapura, berpadu menjadi kawasan unggulan berdaya tarik ekonomi yang kuat serta memberikan peluang investasi bagi Kepri, Riau dan daerah lainnya di Sumatera..
            Pertumbuhan ekonomi juga membangkitkan kawasan-kawasan industri dan parawisata di daerah ini. Setelah Batam berbagai industri penting yang cepat menumbuhkan ekonomi, menyusul pula di kawasan lainnya  di Bintan dengan dibukanya resort wisata di Lagoi, Bintan Utara, serta Lobam di sekitar Tanjunguban.
            Kebijakan ini diakui telah  menumbuhkan dan membangkitkan ekonomi Kepri secara kuantitatif, walaupun keberhasilan ini belum sepenuhnya dinikmati oleh rakyat Kepri.
            Hal ini justru menimbulkan masalah baru akibat kesenjangan ekonomi yang tidak merata dan tidak berpihak kepada rakyat kecil. Pembangunan pusat-pusat industri dan kawasan ekonomi yang diarahkan oleh pemerintah pusat dan lebih menyertakan swasta asing atau kaum pemilik modal ini, telah melupakan amanah kesejahteraan rakyat Kepri. Penduduk di sekitarnya semakin tertinggal dan tetap miskin.           
            Akibat pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, kemajuan sektor pendidikan, sosial dan berbagai bidang lain serta lingkungan  alam jadi tertinggal. Fasilitas pendidikan tidak terpenuhi dan menyebabkan sulitnya anak-anak didik melajutkan sekolahnya di berbagai desa di kawasan industri.
            Akhirnya Kepri tidak memiliki SDM serta tenaga kerja yang terampil. SDM yang ada tidak dapat bekerja pada industri-industri yang baru tumbuh.
            Sumber daya manusia di Kepri tetap tinggal, dan tidak bisa mengisi kebutuhan tenaga kerja karena terbatasnya pendidikan dan keterampilan. Juga semakin terpinggirkannya kehidupan rakyat di desa-desa akibat penguasaan lahan-lahan oleh para pemilik modal untuk kawasan industri. Termasuk rusaknya lingkungan yang merugikan rakyat Kepri akibat eksploitasi yang berlebih-lebihan terhadap tambang-tambang pasir laut, pasir darat, graint, bauksit, hutan-hutan ( termasuk hutan bakau), perairan dan perikanan serta sumber-sumber air minum.
            Terjadilah kerusakan sumber-sumber daya alam, lingkungan di sekitar pesisir pantai, sumber-sumber hayati perikanan dan terumbu karang, serta hutan-hutan di seantero pulau besar di Kepulauan Riau. Semua ini berakibat pemiskinan yang terus-menerus bagi petani, nelayan, buruh dan penduduk di kawasan ini.
            Kondisi Kepulauan Riau yang semakin tertinggal kesejahteraannya ini, secara bersamaan diperparah oleh semakin terkonsentrasinya pembangunan hanya di Riau Daratan. Hal ini terjadi karena ibu kota Provinsi Riau berada di Kota Pekanbaru sehingga pada masa Orde Baru yang sangat sentralistik dan otoriter pada masa itu, telah membuat terjadinya pemusatan pembagunan hanya pada kawasan-kawasan tertentu. Terlebih lagi kebijakan ekonomi yang ditentukan oleh pusat lebih menekankan pada pertumbuhan.
            Pembangunan ekonomi yang sangat mengejar pertumbuhan itu tidak lain hanyalah dengan mengeksploitasi sumber-sumber daya alam seperti hutan dan lahan, selain mengelola sumber alam minyak dan gas bumi. Di sisi lain pemerintah juga memacu pembangunan sektor infrastruktur yang semata-mata untuk mempermudah eksploitasi sumber-sumber daya alam bagi kaum pemilik modal.
            Pembagunan infrastruktur yang pesat menyebabkan ikut bangkitnya sektor-sektor lain seperti pertanian, perkebunan dan pertambangan yang kemudian berimbas pada sektor pendidikan, kesehatan, sosial ekonomi dan budaya. Sebaliknya, pembagunan di Kepulauan Riau yang semula adalah ibukota provinsi (Riau) justru tertinggal jauh.
            Ketimpangan semakin dirasakan di dalam pembangunan Kepri dan Riau Daratan akibat berbedanya persepsi pada pemerintah provinsi, yang lebih berorientasi pada wilayah daratan, dan bukan kepulauan.
            Dalam pemikiran ini, laut ditanggap sebagai kelemahan karena memisahkan pulau-pulau. bukan sebaliknya yang menjadi kekuatan pemersatu atas pulau-pulau itu. Akibatnya kawasan Kepulauan Riau menjadi wilayah yang lemah tanpa pengaruh.
            Ketertinggalan dan rasa ketidakadilan yang terus berkembang, terutama pada masa-masa setelah kemerdekaan, menyebabkan rakyat Kepri ingin berjuang untuk mendapatkan kembali suatu wilayah yang berstatus otonom (provinsi), sebagaimana yang pernah terjadi sebelumnya.
            Dalam kata lain, rakyat Kepulauan Riau ingin memisahkan diri secara administratife  Provinsi Riau untuk membentuk provinsi tersendiri. Rasa ketidakadilan serta didesak oleh berbagai faktor lain, selain faktor sejarah adalah: letak geografis, ekonomis, sosial budaya, dan politis, semakin memperkuat alasan mengapa rakyat Kepri bersatu memperjuangkan terbentuknya Provinsi Kepri.
            Kepulauan Riau yang  teridiri dari 96 persen perairan dan hanya 4 persen daratan dengan 2.408 pulau, dan jauh dari pusat pemerintahan menyebabkan panjangnya rentangan kendali. Secara administratif rentang kendali itu akan menjadi singkat apabila pusat pemerintahan berada di Kepri. Hal ini akan mempermudah berbagai urusan masyarakat dan layanan dari pemerintah provinsi.
Rasa tidak puas masyarakat atas berbagai kondisi ini akhirnya manibulkan rasa kesadaran bersama rakyat Kepri guna memisahkan diri dari Riau Daratan untuk menjadi Provinsi Kepulauan Riau yang otonom. Bersamaan dengan itu timbul pula harapan bersama akan tercapainya kesejahteraan apabila kelak provinsi itu dapat menumbuhkan sektor ekonomi dan sektor-sektor lainnya bagi kepetingan rakyat.
            Seiringi dengan angin reformasi yang berhembus kencang sampai ke daerah-daerah, banyak daerah yang ingin memekarkan daerahnya. Kondisi ini disambut baik oleh pemerintah pusat dan DPR-RI. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau pun kemudian mempersiakan daerah pemekaran dengan membentuk Tim pemekaran yang diketuai oleh Sekertaris Daerah Kabupaten Kepulauan Riau.
            Pada awalnya timbul inisiatif dari berbagai kelompok masyrakat Kepulauan Riau untuk menindaklanjuti aspirasi yang tumbuh mendesak di tengah-tengah masyarakat.
            Gagasan itu disambut oleh tokoh-tokoh generasi muda yang tergabung dalam Komite Pemuda Nasional Indonesia  (KNPI) Kepulauan Riau. Meraka kemudian melakukan pendekatan ke pemerintah.
            Pada suatu ketika, mereka bertemu dengan Syarwan Hamid (Menteri Dalam Negeri waktu itu) yang sedang berkunjung ke pantai Sakera Teluk Sebong, Bintan. Tokoh-tokoh KNPI itu sambil berbisik, mulai bertanya : ‘‘ Pak Syarwan bagaimana kalau Kepri kita mekarkan menjadi Propinsi ?’’ tanya Dalmasri, Ketua  KNPI Kepri kepada  Syarwan.
            Di luar dugaan, Mendagri   Syarwan Hamid yang berasal dari Siak, Riau itu merespon dan bahkan meminta kepada Dalmarsi dan kawan-kawan untuk membuat proposalnya. Gayung pun bersambut. Mereka lalu menyusun sebuah proposal tentang pemekaran Kabupaten Kepulauan Riau untuk menjadi Provinsi.
            Proposal ini kemudian diajukan kepada Bupati Kepulauan Riau (waktu itu) A Manan Saiman. ‘‘ Pak Manan menerima kami, cuma kurang merespon. Mungkin pak Manan sungkan karena Gubernur Riau waktu itu juga TNI,’’kisah Dalmarsi.
            Aspirasi ini kemudian berkembang dan meluas dengan cepat di dalam masyarakat. Para mahasiswa Kepri yang berada di Jakarta, Bandung, Pekanbaru dan Yogyakarta mendesak untuk sesegeranya dibentuk Provinsi Kepri. Sementara itu Pimpinan KNPI Kepri langsung melakukan kontak dengan DPRD Kabupaten Kepri, yang menyarankan untuk segera membentuk tim sosialisasi dan menyusun rencana aksi.
            Secara hampir bersamaan terbentuk pula Komite Pemekaran Kepulauan Riau (KPKR) sebagai lembaga mempersiapkan pemekaran wilayah Kabupaten Kepulauan Riau. Kabupaten itu akan dimekarkan menjadi 6 daerah tingkat dua (kabupaten / kota) yaitu Kota Batam, Kota Tanjungpinang, Kabupaten Karimun, Kabupaten Lingga, Kabupaten Natuna (Pulau Tujuh) dan Kabupaten Bintan.
KPKR  yang diketahui oleh H.M. Arief Rasahan ini merencanakan pelaksanaan musyawarah besar (mubes) dan berkoordinasi dengan Bupati Kepulauan Riau (waktu itu) H. Abdul Manan, Ismeth Abdullah (Ketua Otorita Batam) dan Gubernur Riau Saleh Djasit. Mubes akhirnya juga bersepakat untuk memasukkan agenda pembentukan Provinsi Kepulauan Riau sebagai agenda lain yang harus dicapai oleh KPKR.
Kemudian dilaksanakanlah Musyawarah Besar Rakyat Kepulauan Riau pada tanggal 15 Mei 1999 di Hotel Royal Palace, di Batu – 10, Kota Tanjungpinang. Pada hotel yang sekarang bernama Hotel Comfort itu, hadir sekitar seribu orang wakil- wakil tokoh masyarakat, tokoh adat, pemuda dan mahasiswa.
Mubes Rakyat Kepulauan Riau ini mengasilkan Tiga Tuntutan Rakyat Kepulauan Riau yang di tandatangani oleh tim perumus yang terdiri dari Prof Moch Saad (Ketua), Drs Azirwan (sekretaris), dengan beberapa anggota yaitu: Drs Abdul Malik, M.pd, Ir H Moh Gempur Adnan, H Raja Hamzah Yunus, H Rusli Silin, Drs M Saleh Wahab, H Bakri Syukur dan HM Arief Rasahan.
B.  Tiga Tuntutan Rakyat Kepri
  1. Mempercepat kemakmuran masyarakat secara adil dan merata melalui pembetukan Provinsi Kepulauan Riau.
  2. untuk mengujudkan hal tersebut di atas secara nyata dilaksana dengan kemekaran daerah otonomi Kepulauan Riau.
Pemekaran daearah  otonomi Kepulauan Riau terdiri atas :
(1)      Kota Tajungpinang,
(2)      Kabupaten Bintan,
(3)      Kabupaten Karimun,
(4)      Kabupaten Kepulauan lingga
(5)      Kabupaten Pulau Tujuh.
  1. Mendesak  pemerintah  agar  KotaMadya Batam menjadi otonomi.
Musyawarah yang dihadiri masyarakat dari 22 kecamatan se-Kepulauan Riau, serta masyarakat pendatang dari seluruh Kepri, berhasil meyatuhkan aspirasi dan membulatkan tekat untuk membentuk Provinsi Kepulauan Riau.
Mubes yang merupakan langkah awal dan cikal-bakal awal perjuangan rakyat Kepulauan Riau, juga menghasilkan sebuah Deklarasi Rakyat Kepulauan Riau, sebagai berikut:
C.      Deklarasi  Rakyat  Kepulauan  Riau
            Sudah 54 tahun Indonesia merdeka sejak diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.  Kemerdekaan adalah rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa, yang diperjuangkan oleh seluruh bangsa Indonesia tanpa membeda-bedakan suku, ras, serta agama. Dimana tujuan kemerdekaan itu adalah untuk menciptakan bangsa yang merdeka lahir dan batin tanpa dijajah atau ditekan oleh siapapun, sesuai tuntutan fitra manusia untuk menuju suatu masyarakat adil dan makmur.  
            Kemudian sampai saat ini sudah 40 tahun pula Ibu Kota Provinsi Riau dipindahkan dari Tajungpinang ke Pekanbaru, selama itu pulalah masyarakat Kepulauan Riau berada dalam keadaan ketinggalan dalam segala segi kehidupan. Padahal sebelumnya masyarakat Kepulauan Riau sempat mengalami kemajuan yang berarti.
            Diakuai beberapa daerah seperti Batam, Bintan dan Karimun ada perkembangan dan kemajuan. Akan tetapi perkembangan di daerah tersebut karena adanya proyek-proyek  besar yang sektoral dari pusat, dan bukan dari Pemerintah  Daerah Riau.
            Setelah kami mencermati permasalahan itu semua, maka wilayah Kepulauan Riau yang begitu luas, untuk megadakan pembinaan masyarakat tidaklah mungkin dapat diatasi dengan status pemerintahan daerah yang hanya setingkat Kabupaten. Apalagi sejalan dengan derasnya arus globalisasi dan perdangangan bebas pada tahun 2003 mendatang, apabila tidak dipersiapkan dengan cermat, maka kehidupan masyarakat Kepulauan Riau akan semakin terpinggirkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar