SEJARAH PEMBENTUKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU
SEJARAH PEMBENTUKAN PROVINSI
KEPULAUAN RIAU
A. KILAS BALIK
PERJALANAN PANJANG
Perjalanan pembentukan
Provinsi Kepulauanan Riau yang di singkat Prov. Kepri memerlukan perjuangan
yang tidak mudah menguras pikiran tenaga tanpa pamrih dari berbagai unsur dan
elemen masyarakat yang berada di Kepulauan Riau maupun yang berada di luar
kepulauan Riau, perlu diketahui bersama
bahwa Provinsi Kepulauan Riau dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 tanggal 24
September 2002. Disyahkan oleh DPR RI dengan hak inisiatif DPR RI
melalui suatu proses yang jarang digunakan
oleh badan legislatif sejak zaman Orde baru. Pembentukan Provinsi Kepri
adalah hasil jerih payah perjuangan panjang rakyat dan tokoh-tokoh masyarakat
Kepulaun Riau. Penjelasan sejarah
pembentukan Provinsi Kepulauan Riau ini telah ditulis oleh Bappeda Provinsi
Kepulauan Riau tahun 2009 dalam sebuah buku volume I dengan judul “Provinsi
Kepulauan Riau membangun Hari Depan”.
Pembentukan provinsi Kepulauan
Riau berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 tanggal 24 September 2002 ini disetujui dan ditindak lanjuti Pemerintah Pusat dengan
dikeluarkannya Keputusan
Pemerintah (Kepres) tanggal 1 Juli
2004, sebagai provinsi baru
yang ke-32. Pada tanggal 1 Juli 2004 itu pula, Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno
atas nama Presiden Republik Indonesia Ibu Megawati Soekarnoputri
melantik Drs. H. Ismeth Abdullah sebagai pelaksana tugas ( caretaker ) Gubenur Kepulauan Riau.
Pada awalnya, Kepulauan Riau ( Kepri ) adalah salah satu kabupaten dari
provinsi induk, Provinsi Riau, yang sudah terbentuk pada tahun 1958 berdasarkan
UU Nomor 61 tahun 1958. Waktu itu, Provinsi Riau yang semula masuk dalam
Provinsi Sumatera Tengah dan beribukota di Bukittinggi, terdiri dari Daerah
Tingkat Dua Kepulauan Riau, Bengkalis, Kampar, Indragiri dan Kotapraja
Pekanbaru.
Ibu kota
Provinsi Riau waktu itu adalah Tanjungpinang. Kemudian dipindahkan ke Pekanbaru
pada tahun 1959. Pindahnya ibukota Provinsi Riau dari Tajungpinang ke Pekanbaru
mendasari suatu perubahan penting dalam sejarah perkembangan sosial, ekonomi
dan politik di Kepri. Tanjungpinang yang awalnya adalah pusat perdagangan,
budaya dan sejarah selama berabad-abad, berubah menjadi kawasan pinggiran dari
Provinsi Riau, menyebabkan Kepri tidak lagi menjadi penting dan bermakna dalam
kejayaan di jalur pelayaran dagang di Selat Melaka yang telah berlangsung sejak
1722.
Setelah berakhirnya masa keemasan Sriwijaya, Riau terus membangkitkan
kembali tradisi kemaritiman Sriwijaya yang berlangsung selama berabad-abad.
Dengan berpindahan ibukota Provinsi Riau waktu itu ke Pekanbaru, tradisi
kemaritiman itu kini berubah.
Pembangunan yang semula
berorientasi maritime (karena
sesuai dengan letak geografis Kepri) kini berorientasi daratan atau benua.
Kawasan seluas 251.810,71 km2 ( 96 % laut dan 4 % daratan ), dengan
sebaran 2.408 pulau yang semula memiliki peran ekonomi dan potensi yang cukup
besar untuk dibangkitkan, cenderung makin ditinggalkan.
Kawasan pulau-pulau nyaris tidak
lagi tersentuh pembangunan. Bahkan potensi Bintan dengan tambang bauksit
Singkep dengan kekayaan timahnya tidak terlalu diutamakan. Sarana dan prasarana
serta pembangunan fisik di berbagai desa, kecamatan dan pulau-pulau yang
bertaburan sangat kurang. Kalaupun ada, hanya dibangun oleh perusahaan.
Lama kelamaan Kepri hanya tumbuh
secara alami dengan kemampuan sendiri. Kepri kembali mengandalkan aktivitas
ekonomi melalui pelayaran dan perdagangan tradisional antar pulau, memanfaatkan
kawasan pertumbuhan ekonomi Singapura dan Malaysia.
Sektor-sektor kehidupan lainnya
seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, perikanan, pertanian, perkebunan,
serta industri tumbuh lebih lambat dan kurang memberi perubahan kesejahteraan
rakyat di kepulauan ini. Mulanya sekalipun ibukota sudah pindah ke Pekanbaru
dan Kepri semakin terpinggirkan, kehidupan ekonomi masih tetap tumbuh dan
kawasan ini tetap berkembang.
Namun pada tahu 1961, ketika
terjadi konflik antara Indonesia dan Malaysia, terjadi perang dan bahkan
putusnya hubungan diplomatik, Kepri yang berada pada perbatasan Semenajung
Malaya dan Singapura, mengalami berbagai perubahan kebijakan yang mengakibatkan
penderitaan bagi rakyat di kawasan ini. Hubungan emosional dan kekeluargaan
dengan penduduk di Semenanjung itu, yang terbina oleh kesamaan asal usul dalam
rentang sejarah yang panjang, menjadi terputus.
Konfrontasi meyebabkan pemerintah Indonesia
mengambil beberapa kebijakan politik maupun ekonomi. Di antaranya melarang
kapal-kapal dari Singapura dan Semenanjung Malaya beroperasi di Indonesia, diikuti dengan larangan pengunaan
mata uang dollar Singapura dan uang Malaysia sebagai alat pembayaran di
Kepri. Bersama itu, pemerintah pusat memberlakukan mata uang KRRP ( Rupiah
Kepulauan Riau ) pada 15 Oktober 1963, serta memungut bea dan cukai di Kepri.
Selain itu, dibuat pula kebijakan
yang memasukkan Kepri ke dalam wilayah pabean Indonesia melalui Peraturan
Pemerintah Penganti UU No. 8 tahun 1963
tanggal 10 November 1963. kerena kebijakan ini bertujuan juga untuk
meningkatkan pendapatan pemerintah, barang-barang yang masuk dari Sumatera dan
Riau Daratan akan dikenai pajak. Akibatnya semakin menghambat perdagangan
antara Kepri dan daratan Sumatera.
Bahkan pembayaran gaji para pegawai
negeri sipil dan militer di Kepri, khususnya Tanjungpinang, Lingga, Karimun dan
Natuna ( Pulau Tujuh ) dilaksanakan dengan menggunakan mata uang rupiah.
Perubahan kebijakan ini sangat
meyulitkan rakyat di Kepri karena terjadi pula perubahan sistem perdagangan di
pulau ini. Perdagangan yang sejak berabad-abad dilakukan secara bebas dan
langsung karena begitu dekatnya jarak, kini berubah. Singapura misalnya, yang
sejak lama merupakan pasar bagi hasil-hasil komoditas pertanian, perikanan dan
pertenakan serta perkebunan, pun terhenti. Barang-barang kebutuhan pokok
sehari-hari berasal dari Singapura dan Malaysia jadi sulit didapat. Perdagangan
tradisional bahkan perdagangan barter antara Kepri dengan Malaysia dan
Singapura langsung terhenti dan dilarang. Masa-masa konfrontasi adalah masa
paling sulit bagi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Kepri.
Kebijakan pemerintah pusat yang
bertujuan memblokade ekonomi Singapura, kemudian merubah jalur perdagangan
hingga Thailand,
Filipina dan bahkan Jepang. Namun karena jarak tempu yang jauh dan semakin memburuknya kehidupan masyarakat,
mulai timbul perdagangan gelap dan penyelundupan dari dan ke Singapur. Pada
awal nya hanya untuk kebutuhan pokok sehari-hari, lalu berkembang menjadi
perdagangan illegal berbagai hasil bumi dan komoditas. Banyak penduduk mulai
menjual hasil bumi mereka secara diam-diam ke Singapura.
Kebijakan blokade ekonomi berlanjut
dengan pemutusan perdagangan dan hubungan ekonomi dengan Malaysia, serta menasionalisasi badan usaha Malaysia dan
Inggris, baik di Kepri maupun Riau Daratan. Akibat lebih jauh adalah terjadinya
perdagangan gelap berbagai komoditas, terutama bahan-bahan baku industri di Singapura.
Agustus 1966 itu kemudian
berlangsung damai dan lancar, namun berbagai masalah ekonomi terutama lalu
lintas perdagangan masih memerlukan proses yang panjang.
Berbagai langkah pemerintah pusat
setelah masa konfrontasi berakhir, dilakukan untuk memulihkan kehidupan ekonomi
didaerah ini. Kedekatan dengan Malaysia
dan Singapura dalam membangkitkan perekonomiannya, terutama dalam mengelola
pelabuhan internasionalnya, mulai mempengaruhi kebijakan pusat. Pemerintah
pusat mulai mengalihkan perhatiannya ke Kepulauan Riau, terutama Batam, guna
ikut memanfaatkan jalur perdagangan dunia yang paling ramai dan penting di
belahan timur.
Untuk merealisasikannya, pemerintah
pusat mengembangkan Pulau Batam menjadi daerah industri khusus, guna mendukung
pertumbuhan ekonomi nasional. Batam
dibangun sebagai kawasan industri pada
tahun 1971 dengan membentuk Badan Otorita Batam.
Selain mengembangkan Pulau batam,
pemerintah juga menggesa pembagunan ekonomi Kepulauan Riau ( dan daerah lainnya
termasuk Riau ) pada tahun 1990. Di
antaranya adalah dengan menjalin kerjasama regional dengan membentuk
kawasan segitiga pertumbuhan ekonomi Singapura-Johor-Riau ( Sijori )yang
dikenal sebagai IMS-GT atau Indonesia Malaysia Singapore Growth Triangle.
Langka ini ingin memaju pertumbuhan
seraya bersepakat dengan Singapura, Johor ( Malyasia) dan Riau ( Indonesia ).
Bertujuan untuk memadukan kekuatan ekonomi secara kompetitif pada tiga kawasan
itu menjadi suatu kawasan pertumbuhan ekonomi yang menarik bagi investor
Internasional .
Indonesia dengan keunggulan sumber
daya alam serta lahan di Kepri serta modal dan keahlian Singapura, berpadu
menjadi kawasan unggulan berdaya tarik ekonomi yang kuat serta memberikan
peluang investasi bagi Kepri, Riau dan daerah lainnya di Sumatera..
Pertumbuhan ekonomi juga
membangkitkan kawasan-kawasan industri dan parawisata di daerah ini. Setelah
Batam berbagai industri penting yang cepat menumbuhkan ekonomi, menyusul pula
di kawasan lainnya di Bintan dengan
dibukanya resort wisata di Lagoi, Bintan Utara, serta Lobam di sekitar
Tanjunguban.
Kebijakan ini diakui telah menumbuhkan dan membangkitkan ekonomi Kepri
secara kuantitatif, walaupun keberhasilan ini belum sepenuhnya dinikmati oleh
rakyat Kepri.
Hal ini justru menimbulkan masalah
baru akibat kesenjangan ekonomi yang tidak merata dan tidak berpihak kepada
rakyat kecil. Pembangunan pusat-pusat industri dan kawasan ekonomi yang
diarahkan oleh pemerintah pusat dan lebih menyertakan swasta asing atau kaum
pemilik modal ini, telah melupakan amanah kesejahteraan rakyat Kepri. Penduduk
di sekitarnya semakin tertinggal dan tetap miskin.
Akibat pertumbuhan ekonomi yang
lebih cepat, kemajuan sektor pendidikan, sosial dan berbagai bidang lain serta
lingkungan alam jadi tertinggal.
Fasilitas pendidikan tidak terpenuhi dan menyebabkan sulitnya anak-anak didik
melajutkan sekolahnya di berbagai desa di kawasan industri.
Akhirnya Kepri tidak memiliki SDM
serta tenaga kerja yang terampil. SDM yang ada tidak dapat bekerja pada
industri-industri yang baru tumbuh.
Sumber daya manusia di Kepri tetap
tinggal, dan tidak bisa mengisi kebutuhan tenaga kerja karena terbatasnya
pendidikan dan keterampilan. Juga semakin terpinggirkannya kehidupan rakyat di
desa-desa akibat penguasaan lahan-lahan oleh para pemilik modal untuk kawasan
industri. Termasuk rusaknya lingkungan yang merugikan rakyat Kepri akibat
eksploitasi yang berlebih-lebihan terhadap tambang-tambang pasir laut, pasir
darat, graint, bauksit, hutan-hutan ( termasuk hutan bakau), perairan dan
perikanan serta sumber-sumber air minum.
Terjadilah kerusakan sumber-sumber
daya alam, lingkungan di sekitar pesisir pantai, sumber-sumber hayati perikanan
dan terumbu karang, serta hutan-hutan di seantero pulau besar di Kepulauan
Riau. Semua ini berakibat pemiskinan yang terus-menerus bagi petani, nelayan,
buruh dan penduduk di kawasan ini.
Kondisi Kepulauan Riau yang semakin
tertinggal kesejahteraannya ini, secara bersamaan diperparah oleh semakin
terkonsentrasinya pembangunan hanya di Riau Daratan. Hal ini terjadi karena ibu
kota Provinsi Riau berada di Kota Pekanbaru sehingga pada masa Orde Baru yang
sangat sentralistik dan otoriter pada masa itu, telah membuat terjadinya
pemusatan pembagunan hanya pada kawasan-kawasan tertentu. Terlebih lagi
kebijakan ekonomi yang ditentukan oleh pusat lebih menekankan pada pertumbuhan.
Pembangunan ekonomi yang sangat
mengejar pertumbuhan itu tidak lain hanyalah dengan mengeksploitasi
sumber-sumber daya alam seperti hutan dan lahan, selain mengelola sumber alam
minyak dan gas bumi. Di sisi lain pemerintah juga memacu pembangunan sektor
infrastruktur yang semata-mata untuk mempermudah eksploitasi sumber-sumber daya
alam bagi kaum pemilik modal.
Pembagunan infrastruktur yang pesat
menyebabkan ikut bangkitnya sektor-sektor lain seperti pertanian, perkebunan
dan pertambangan yang kemudian berimbas pada sektor pendidikan, kesehatan, sosial
ekonomi dan budaya. Sebaliknya, pembagunan di Kepulauan Riau yang semula adalah
ibukota provinsi (Riau) justru tertinggal jauh.
Ketimpangan semakin dirasakan di
dalam pembangunan Kepri dan Riau Daratan akibat berbedanya persepsi pada
pemerintah provinsi, yang lebih berorientasi pada wilayah daratan, dan bukan
kepulauan.
Dalam pemikiran ini, laut ditanggap
sebagai kelemahan karena memisahkan pulau-pulau. bukan sebaliknya yang menjadi
kekuatan pemersatu atas pulau-pulau itu. Akibatnya kawasan Kepulauan Riau
menjadi wilayah yang lemah tanpa pengaruh.
Ketertinggalan dan rasa ketidakadilan
yang terus berkembang, terutama pada masa-masa setelah kemerdekaan, menyebabkan
rakyat Kepri ingin berjuang untuk mendapatkan kembali suatu wilayah yang
berstatus otonom (provinsi), sebagaimana yang pernah terjadi sebelumnya.
Dalam kata lain, rakyat Kepulauan
Riau ingin memisahkan diri secara administratife Provinsi Riau untuk membentuk provinsi
tersendiri. Rasa ketidakadilan serta didesak oleh berbagai faktor lain, selain
faktor sejarah adalah: letak geografis, ekonomis, sosial budaya, dan politis, semakin
memperkuat alasan mengapa rakyat Kepri bersatu memperjuangkan terbentuknya
Provinsi Kepri.
Kepulauan Riau yang teridiri dari 96 persen perairan dan hanya 4
persen daratan dengan 2.408 pulau, dan jauh dari pusat pemerintahan menyebabkan
panjangnya rentangan kendali. Secara administratif rentang kendali itu akan
menjadi singkat apabila pusat pemerintahan berada di Kepri. Hal ini akan
mempermudah berbagai urusan masyarakat dan layanan dari pemerintah provinsi.
Rasa tidak puas masyarakat atas berbagai kondisi ini akhirnya manibulkan
rasa kesadaran bersama rakyat Kepri guna memisahkan diri dari Riau Daratan
untuk menjadi Provinsi Kepulauan Riau yang otonom. Bersamaan dengan itu timbul
pula harapan bersama akan tercapainya kesejahteraan apabila kelak provinsi itu
dapat menumbuhkan sektor ekonomi dan sektor-sektor lainnya bagi kepetingan
rakyat.
Seiringi dengan angin reformasi yang
berhembus kencang sampai ke daerah-daerah, banyak daerah yang ingin memekarkan
daerahnya. Kondisi ini disambut baik
oleh pemerintah pusat dan DPR-RI. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau pun
kemudian mempersiakan daerah pemekaran dengan membentuk Tim pemekaran yang
diketuai oleh Sekertaris Daerah Kabupaten Kepulauan Riau.
Pada
awalnya timbul inisiatif dari berbagai kelompok masyrakat Kepulauan Riau untuk
menindaklanjuti aspirasi yang tumbuh mendesak di tengah-tengah masyarakat.
Gagasan
itu disambut oleh tokoh-tokoh generasi muda yang tergabung dalam Komite Pemuda
Nasional Indonesia (KNPI) Kepulauan
Riau. Meraka kemudian melakukan pendekatan ke pemerintah.
Pada
suatu ketika, mereka bertemu dengan Syarwan Hamid (Menteri Dalam Negeri waktu
itu) yang sedang berkunjung ke pantai Sakera Teluk Sebong, Bintan. Tokoh-tokoh
KNPI itu sambil berbisik, mulai bertanya : ‘‘ Pak Syarwan bagaimana kalau
Kepri kita mekarkan menjadi Propinsi ?’’ tanya Dalmasri, Ketua KNPI Kepri kepada Syarwan.
Di
luar dugaan, Mendagri Syarwan Hamid
yang berasal dari Siak, Riau itu merespon dan bahkan meminta kepada Dalmarsi
dan kawan-kawan untuk membuat proposalnya. Gayung pun bersambut. Mereka lalu
menyusun sebuah proposal tentang pemekaran Kabupaten Kepulauan Riau untuk
menjadi Provinsi.
Proposal
ini kemudian diajukan kepada Bupati Kepulauan Riau (waktu itu) A Manan Saiman.
‘‘ Pak Manan menerima kami, cuma kurang merespon. Mungkin pak Manan sungkan
karena Gubernur Riau waktu itu juga TNI,’’kisah Dalmarsi.
Aspirasi ini kemudian berkembang dan
meluas dengan cepat di dalam masyarakat. Para mahasiswa Kepri yang berada di Jakarta, Bandung, Pekanbaru
dan Yogyakarta mendesak untuk sesegeranya
dibentuk Provinsi Kepri. Sementara itu Pimpinan KNPI Kepri langsung melakukan
kontak dengan DPRD Kabupaten Kepri, yang menyarankan untuk segera membentuk tim
sosialisasi dan menyusun rencana aksi.
Secara hampir bersamaan terbentuk
pula Komite Pemekaran Kepulauan Riau (KPKR) sebagai lembaga mempersiapkan
pemekaran wilayah Kabupaten Kepulauan Riau. Kabupaten itu akan dimekarkan
menjadi 6 daerah tingkat dua (kabupaten / kota) yaitu Kota Batam, Kota
Tanjungpinang, Kabupaten Karimun, Kabupaten Lingga, Kabupaten Natuna (Pulau
Tujuh) dan Kabupaten Bintan.
KPKR yang diketahui oleh H.M.
Arief Rasahan ini merencanakan pelaksanaan musyawarah besar (mubes) dan
berkoordinasi dengan Bupati Kepulauan Riau (waktu itu) H. Abdul Manan, Ismeth Abdullah
(Ketua Otorita Batam) dan Gubernur Riau Saleh Djasit. Mubes akhirnya juga
bersepakat untuk memasukkan agenda pembentukan Provinsi Kepulauan Riau sebagai
agenda lain yang harus dicapai oleh KPKR.
Kemudian dilaksanakanlah Musyawarah Besar Rakyat Kepulauan Riau pada
tanggal 15 Mei 1999 di Hotel Royal Palace, di Batu – 10, Kota Tanjungpinang.
Pada hotel yang sekarang bernama Hotel Comfort itu, hadir sekitar seribu orang
wakil- wakil tokoh masyarakat, tokoh adat, pemuda dan mahasiswa.
Mubes Rakyat Kepulauan Riau ini mengasilkan Tiga Tuntutan Rakyat
Kepulauan Riau yang di tandatangani oleh tim perumus yang terdiri dari Prof
Moch Saad (Ketua), Drs Azirwan (sekretaris), dengan beberapa anggota yaitu: Drs
Abdul Malik, M.pd, Ir H Moh Gempur Adnan, H Raja Hamzah Yunus, H Rusli Silin,
Drs M Saleh Wahab, H Bakri Syukur dan HM Arief Rasahan.
B. Tiga Tuntutan Rakyat
Kepri
- Mempercepat kemakmuran masyarakat secara adil dan merata melalui pembetukan Provinsi Kepulauan Riau.
- untuk mengujudkan hal tersebut di atas secara nyata dilaksana dengan kemekaran daerah otonomi Kepulauan Riau.
Pemekaran daearah otonomi Kepulauan Riau terdiri atas :
(1)
Kota Tajungpinang,
(2)
Kabupaten Bintan,
(3)
Kabupaten Karimun,
(4)
Kabupaten Kepulauan lingga
(5)
Kabupaten Pulau Tujuh.
- Mendesak pemerintah agar KotaMadya Batam menjadi otonomi.
Musyawarah yang dihadiri masyarakat dari 22 kecamatan se-Kepulauan Riau,
serta masyarakat pendatang dari seluruh Kepri, berhasil meyatuhkan aspirasi dan
membulatkan tekat untuk membentuk Provinsi Kepulauan Riau.
Mubes yang merupakan langkah awal dan cikal-bakal awal perjuangan rakyat
Kepulauan Riau, juga menghasilkan sebuah Deklarasi Rakyat Kepulauan Riau,
sebagai berikut:
C. Deklarasi Rakyat
Kepulauan Riau
Sudah
54 tahun Indonesia
merdeka sejak diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan adalah rahmat dari Tuhan Yang
Maha Kuasa, yang diperjuangkan oleh seluruh bangsa Indonesia tanpa membeda-bedakan
suku, ras, serta agama. Dimana tujuan kemerdekaan itu adalah untuk menciptakan
bangsa yang merdeka lahir dan batin tanpa dijajah atau ditekan oleh siapapun,
sesuai tuntutan fitra manusia untuk menuju suatu masyarakat adil dan
makmur.
Kemudian sampai saat ini sudah 40
tahun pula Ibu Kota Provinsi Riau dipindahkan dari Tajungpinang ke Pekanbaru,
selama itu pulalah masyarakat Kepulauan Riau berada dalam keadaan ketinggalan
dalam segala segi kehidupan. Padahal sebelumnya masyarakat Kepulauan Riau
sempat mengalami kemajuan yang berarti.
Diakuai beberapa daerah seperti
Batam, Bintan dan Karimun ada perkembangan dan kemajuan. Akan tetapi
perkembangan di daerah tersebut karena adanya proyek-proyek besar yang sektoral dari pusat, dan bukan
dari Pemerintah Daerah Riau.
Setelah kami mencermati permasalahan
itu semua, maka wilayah Kepulauan Riau yang begitu luas, untuk megadakan
pembinaan masyarakat tidaklah mungkin dapat diatasi dengan status pemerintahan
daerah yang hanya setingkat Kabupaten. Apalagi sejalan dengan derasnya arus
globalisasi dan perdangangan bebas pada tahun 2003 mendatang, apabila tidak
dipersiapkan dengan cermat, maka kehidupan masyarakat Kepulauan Riau akan
semakin terpinggirkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar