Kesetiaan pejuang Batak terhadap Sisingamangaraja XII
Ompu Halto sang Pejuang
Pagi itu udara sangat cerah.
Angin berhembus dengan perlahan. Dan sinar mentari menyinari langkah
pasukan Marsose pimpinan Kapt. Christoffel yang tiba di Sibongkare.
Pasukan ini sedang mengejar Raja Sisingamangaraja,
beserta pasukannya. Seluruh rakyat dikumpulkan di suatu tempat. Mereka
dinterogasi satu persatu tentang keberadaan Raja Sisingamangaraja.
Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang disiksa karena tidak mau
menunjukkannya. Melihat situasi ini, Ompu Halto datang menemui sang
kapten dan mengatakan bahwa ia adalah penguasa daerah ini. Sang kapten
sangat merasa beruntung, karena salah satu dari musuh mereka telah
datang menyerahkan diri.
· “Didia Sisingamangaraja?” tanya salah seorang pembantu Kapt. Christoffel yang ternyata berasal dari orang Batak sendiri kepada Ompu Halto.
· “Di Bakkara,” jawab Ompu Halto dengan tenang.
· “Didia Sisingamangaraja?” tanya orang itu dengan suara lebih keras.
· “Sambor nipim parjehe!” jawab Ompu Halto.
Pembantu Belanda itu memberi
isyarat agar Ompu Halto disiksa. Maka, dengan bengis dan tanpa ampun
Ompu Halto dipopor, ditendang dan dipukul dengan rotan mallo sebesar ibu
jari kaki. Namun ia tetap tegar seakan-akan tidak merasakan sedikitpun
siksaan tersebut.
Memang, Ompu Halto memiliki berbagai ilmu kesaktian. Ia pernah belajar ilmu hadatuon di Barus. Nama Ompu Halto
adalah gelar yang diberikan oleh masyarakat kepadanya sekalipun waktu
itu ia belum beristri dan beranak-cucu. Gelar ini disandangnya, karena
ia memiliki ilmu yang dapat membuat badan orang yang memusuhinya menjadi
gatal-gatal. Rasa gatal itu bukan merupakan gadam, karena kalau gadam
badannya akan luka-luka, meleleh dan mengakibatkan kematian. Yang dapat
mengobati rasa gatal itu adalah Ompu Halto sendiri dengan cara
meludahinya.
· “Didia Sisingamangaraja?” tanya orang itu kembali dengan nada tidak sabar.
· “Ndang di ida matangku, alai di ida mata ni rohangku,”[6] begitu jawaban yang selalu diucapkan Ompu Halto setiap ditanya tentang keberadaan Raja Sisingamangaraja.
Ia tidak mau berbohong, sebab
ia tahu benar, di mana Raja Sisingamangaraja berada. Maka siksaan pun
semakin kuat dan berjalan sepanjang hari, hingga satu popor senjata
remuk tidak membawa hasil.
Ketika itu, Raja Sisingamangaraja telah dievakuasi ke Simatabo. Setelah sebelumnya berada di Sibongkare selama empat kali bulan tula.
Di Sibongkare, Ompu Halto memilih tempat yang sangat terlindung bagi
pasukan Raja Sisingamangaraja yaitu Lobu Sierge. Tempat ini adalah
kawasan kebun buah-buahan dengan pohon durian besar-besar dan ambasang,
sehingga aktivitas di lingkungan ini tidak menarik perhatian pasukan
Belanda. Menurut nasehat Ompu Halto, di Lobu Sierge tidak boleh ada api,
karena asap yang membumbung tinggi akan kelihatan dari jarak jauh.
Seluruh makanan di masak di luar. Karena Raja Sisingamangaraja dan
seluruh garis keturunannya berpantang makan daging babi, maka ia dan
seluruh marga Sinambela garis keturunannya menggantinya dengan makan
ikan. Ikan di Sibongkare sangat gampang dicari, karena Aek Sisira dan
Aek Ardoman merupakan gudang ikan sungai yang melimpah saat itu. Umumnya
adalah ikan boyom yang dibungkus dengan daun sungkit lalu
dimasukkan ke dalam bara api. Ikan ini bisa tahan dua atau tiga minggu
asal benar-benar memasaknya. Tidak perlu piring atau tempat makanan
lainnya, sebab bulung langge dan bulung motung di sekitar tempat ini cukup banyak.
Setiap pagi, Ompu Halto dan Raja Sisingamangaraja berunding sambil mardemban. Ia sudah lama menjadi penasehat spiritual dan datu bolon bagi Raja Sisingamangaraja.
· “Kekuatan Belanda tidak dapat kita imbangi, Ompu!”
· “Ya,
benar. Namun perjuangan ini harus dilanjutkan sampai titik darah
penghabisan! Aku sangat tidak rela kalau tanah para leluhur kita ini
diinjak-injak oleh orang-orang asing yang bermuat semena-mena.”
Ompu Halto ingat ketika ia
sebagai Rajaihutan memaklumkan perang dengan Belanda kepada rakyat
Kalasan Hulu. Ia begitu gigih mengobarkan semangat berjuang kepada
rakyatnya. Dan dalam waktu yang sama, Raja Sisingamangaraja telah
memaklumkan perang terhadap Belanda, karena ia sangat murka dengan
maklumat Belanda tahun 1876 yang menyatakan bahwa seluruh tanah Batak
menjadi tanah jajahannya, dan meminta seluruh raja-raja Batak dan
rakyatnya untuk meletakkan senjata. Maka rakyat pun bahu-membahu
melakukan perlawanan. Seluruh laki-laki dimobilisasi untuk menjadi
pasukan siap perang.
Waktu itu, Belanda sedang
melancarkan serangan dari Barus ke Kalasan Hulu. Ompu Halto yang telah
berpengalaman melintas ke Barus tahu benar bahwa jalan dari Barus ke
Kalasan Hulu hanya dan harus melewati Gunung Sigurung-gurung. Dan jalan
tersebut hanya sebuah jalan setapak dengan kemiringan gunung 75o. Ia dan pasukannya mencegat di puncak gunung itu.
· “Kumpulkan batu sebanyak-banyaknya!” katanya kepada pasukannya.
· “Untuk apa Ompu?” tanya salah satu pasukannya.
· “Saat pasukan Belanda itu naik, maka kita akan menimpuki mereka dengan batu-batu besar itu.”
Benar. Ketika serdadu
penjajah itu mencoba mendaki gunung Sigurung-gurung, maka dengan membabi
buta dan tanpa kenal ampun, pasukan Ompu Halto menimpuki mereka dengan
batu-batu besar. Banyak diantara mereka yang mati dan tidak sedikit yang
terjun langsung ke jurang yang dalam.
Ketika Sisingamangaraja dan
pasukannya akan dievakuasi ke Simatabo, Raja Buntal dan Raja Barita,
kedua putra Sisingamangaraja yang masih kecil tidak ikut rombongan dan
tinggal di Sibongkare di bawah perlindungan Ompu Halto. Maka, saat Ompu
Halto mendapat siksaan dari pasukan Marsose di hari pertama mereka
melihatnya. Pada malam harinya, mereka dilarikan ke Tombak Pak-Pak Babo
hutan premier di hulu Aek Ardoman agar jauh dari jangkauan musuh.
Sementara itu, Kapt.
Christoffel memerintahkan untuk tidak membunuh Ompu Halto, namun
penyiksaan harus terus dilanjutkan sampai ada pengakuan di mana lokasi
Sisingamangaraja berada. Di hari kedua, ia disiksa oleh algojo dari
Ambon. Karena tetap tidak mau mengaku juga, siksaan dilanjutkan pada
hari ketiga dan keempat.
Penyiksaan pada hari keempat
ini lebih kejam dan sadis. Karena alat-alat penyiksaan sudah habis, maka
Ompu Halto diseret di tengah halaman. Dua buah andalu
ditancapkan. Kedua tangannya direntangkan dan diikat di andalu. Dan
penyiksaan tiada tara itu pun berlangsung. Seluruh rakyat, tua-muda dan
anak-anak menyaksikan penyiksaan yang belum pernah mereka lihat
sebelumnya, termasuk juga kedua istri Ompu Halto. Sedangkan pasukan
Marsose mengadakan penyisiran ke seluruh pelosok Sibongkare, Lobu Sierge
dan kemudian ke Lobu Toruan. Namun mereka tidak mendapat satu bukti pun
yang dapat menyeret Ompu Halto.
Akhirnya menjelang sundut mataniari
sebuah andalu dicabut dan ………. andalu dipukulkan ke punggung Ompu Halto
dengan kekuatan penuh, hingga ia terhuyung-huyung dan ambruk tergeletak
di tanah dalam keadaan pingsan seperti tidak ada lagi tanda-tanda
kehidupan. Raga Ompu Halto kemudian dibuang ke jurang yang tidak terlalu
dalam, jurang parlambuhan tak jauh dari tempat penyiksaan.
Seluruh rakyat meratapi kepergiannya dengan tangis dan kesedihan yang
tak terkira, terlebih kedua istrinya yang merasa sangat kehilangan.
Mereka mengutuk atas penyiksaan sadis itu, sebuah kebiadaban yang belum
pernah terbayang sebelumnya. Yang lebih memilukan lagi, tidak seorang
pun diizinkan untuk menjenguk ataupun merawat korban.
Pukulan
andalu itulah yang menyebabkan kesaktian Ompu Halto sirna. Ia mempunyai
kesaktian yaitu badannya kebal terhadap berbagai senjata tajam, seperti
pisau, golok, tombak atau alat-alat pemukul lainnya jika benda-benda
tersebut bersih (tidak terkena tanah). Keampuhan alat-alat
pembunuh itu hanya bertahan sebelum matahari terbenam, sebab alat-alat
itu mendapat kekuatan dari sinar matahari.
Tak terasa
sore telah digantikan dengan malam. Para penduduk yang menyaksikan
penyiksaan itu segera bubar dan kembali ke rumah masing-masing dengan
membawa segala kesedihan sekaligus kebencian yang luar biasa atas
perlakuan kejam para penjajah. Sementara itu, jauh di bawah jurang sana
tubuh Ompu Halto masih terbujur kaku di antara tetumbuhan talas dan
suhat. Menjelang tengah malam, antara sadar dan tidak sadar, ia merasa
ada seseorang yang datang membantunya, punggungnya yang sudah patah
terkena pukulan alu diurut dengan baik sehingga ada sedikit kekuatan
baginya. Dan ketika Subuh menjelang, ia merasakan ada ombun na manorok yang menimpa mukanya dan ia pun meminumnya. Tetesan-tetesan embun dari daun talas inilah yang memberikan kekuatan baginya.
Di
hari kelima, Kapt. Christoffel memerintahkan anak buahnya untuk
memeriksa keadaan sang korban. Utusan tersebut memastikan bahwa Ompu
Halto sudah mati. Hari itu juga Kapt. Christoffel dan pasukannya
bergegas meninggalkan huta Sibongkare. Dengan demikian, rakyat
mempunyai kesempatan untuk menyelematkan Ompu Halto. Rakyat sempat
terkejut, ternyata di sekitar korban tergeletak mereka menemukan
jejak-jejak harimau yaitu babiat sitelpang. Akhirnya jiwa Ompu
Halto dapat diselamatkan, namun postur tubuhnya tidak tegap seperti
semula, tetapi membungkuk karena tulang punggungnya telah patah.
Jejak-jejak
harimau itulah yang sebenarnya merupakan guru Ompu Halto yang telah
menjilati punggungnya agar terhindar dari kerusakan yang parah.
Sedangkan
di tempat lain, pasukan Marsose melanjutkan ekspedisi mengikuti arus
sungai Sisira Rambe, terus ke hilir menyusuri daerah Lae Toras,
Tarabintang, Gaman, Onggol, Pinim, Buluampa, Napahorsik terus ke
Parlilitan. Andaikata mereka belok ke arah kanan, mereka akan tiba di
Simatabo.
Sementara
itu, setelah dua bulan rombongan Sisingamangaraja berada di Simatabo,
mereka menuju ke Pusuk melewati gunung Tindian Laut dengan kemiringan
75o. Di gunung terjal ini kadang-kadang mereka menjumpai ikan
lele yang bermigrasi dari bawah ke atas melalui akar-akar kayu dan
lumut yang basah, sampai di puncak gunung tinggal 300 m ke bawah sudah
ada mata air. Menurut kepercayaan mereka, ikan lele ini tidak boleh
diganggu. Dari Pusuk, rombongan dievakuasi melalui desa Siringo-ringo,
Kual-kuali, terus ke Sionomhudon tepatnya di Bungus Pearaja.
Waktu itu,
pasukan Marsose tiba di Sionomhudon dan mengobrak-abrik semua desa
serta menyiksa rakyat. Mereka mengalami kesulitan, karena rakyat tidak
mengetahui bahasa Batak Toba, rakyat desa ini berbahasa Dairi, sehingga
semua interogasi yang dilakukan pasukan Marsose tidak dapat dijawab oleh
rakyat setempat. Kemudian ekspedisi diintensifkan ke seluruh pelosok
dan seorang rakyat biasa tertangkap dan disiksa. Karena tidak tahan atas
siksaan itu, ia terpaksa mengeluarkan kata-kata Lae Simonggo. Sehingga
pada 13 Mei 1907 jejak Raja Sisingamangaraja yang berada di sekitar Lae
Simonggo mulai terungkap.
Menurut
rencana semula, rombongan Raja Sisingamangaraja akan meneruskan
perjalanan ke Tele terus ke Harian Boho. Namun, perjalanan tidak dapat
dilanjutkan karena hutan rimba yang harus dilalui adalah rawa-rawa
setinggi pinggang orang dewasa. Hal ini sangat menyulitkan perjalanan,
apalagi persediaan makanan semakin menipis. Ditambah lagi, di sepanjang
hutan tidak ditemukan mata air yang dapat diminum. Akhirnya pasukan
tetap bertahan di Lae Sibulbulon.
Ada sungai kecil di
hulu Lae Simonggo yaitu Lae Sibulbulon dan di hilir Lae Simonggo bersatu
dengan Simpang Kiri yang bermuara di Singkil Aceh. di sungai Sibulbulon
inilah akhirnya perang berkecamuk. Pada perang ini Putri Lopian, putri
raja Sisingamangaraja tewas tertembak. Melihat kejadian ini, Raja
Sisingamangaraja lari merangkul putrinya. Ternyata darah Putri Lopian
melumuri badan Raja Sisingamangaraja. Padahal ia berpantang kena darah
untuk memlihara kesaktiannya. Dengan demikian kesaktian Raja
Sisingamangaraja pudar dan dapat ditembak oleh Belanda. Dengan gugurnya
Raja Sisingamangaraja pada tahun 1907, maka perang dengan Belanda
berakhir.
Banyak
yang gugur dalam peperangan di Sibulbulon, termasuk Patuan Anggi dan
Patuan Nagari yang keduanya adalah putra Raja Sisingamangaraja. Juga
para prajurit, hulubalang dan panglima, termasuk panglima-panglima Aceh.
Perang Aceh dan dan perang Batak bersamaan waktunya, hubungan Aceh dan
Batak sangat harmonis sehingga Sultan Aceh mengirimkan beberapa panglima
perangnya untuk diperbantukan dalam perang Batak.
Jenazah Raja
Sisingamangaraja dan kedua putranya dibawa ke Tarutung dan dimakamkan
secara rahasia di Kompleks Tangsi Serdadu Belanda. Sedangkan jasad Putri
Lopian yang masih bernapas dibuang ke jurang, namun kemudian jenazahnya
diambil dari jurang dan dihanyutkan ke Lae Simonggo yang bermuara di
Singkil.
Walaupun
perang Batak telah berakhir dengan wafatnya Raja Sisingamangaraja,
namun di beberapa tempat di Kalasan Hulu perlawaran terus berlangsung
secara sporadis. Pemberontakan-pemberontakan ini membuat desa-desa tidak
aman, pembangunan terhalang dan rakyat tidak dapat mengerjakan
sawah-ladangnya yang mengakibatkan kehidupan terpuruk. Ompu Halto sadar
bahwa kekuatan Belanda tidak dapat ditandingi. Ia menganjurkan kepada
seluruh rakyat Kalasan Hulu untuk menghentikan perlawanan.Tinggalkan Balasan