Peninggalan Dan Karya Sisingamangaraja XI (1830-1867)
S.M
Raja XI, setelah naik tahta mulai menata kehidupan rakyatnya. Ada yang
menyebutkan angka tahunnya adalah 1841-1871. Di beberapa wilayah
dilakukan pembangunan. Hubungan diplomasi luar negeri dengan Kesultanan
Aceh dijalin kembali. Sang Raja mulai menyadari kehadiran elemen-elemn
penyusup yang bermaksud untuk menguasai dan meniadakan Kedaulatan Bangsa
Batak. Belanda yang meneruskan kebijakan Raffles tidak bisa menerima;
Bangsa Batak malah melakukan kerjasama militer dengan Aceh.
Perkembangan
pembangunan di bidang sosial dan pendidikan meningkat. Kerajaan mulai
mengerjakan penulisan sejarah Batak dalam ‘Arsip Bakkara’ setebal 23
jilid. Total Satu setengah meter tebalnya. Sebagain besar mengenai
undang-undang, tradisi dan kehidupan kerajaan. Sebuah usaha yang
memberikan dampat baik terhadap kredibilitas otoritas raja dan kehidupan
masyarakat namun sudah terlanjur terlambat. Elemen-elemen rakyat yang
putus asa dengan epidemik kolera sudah banyak yang pro-Belanda.
Arsip
tersebut dijilid setebal lima sentimeter dengan jumlah jilidan 23. Bila
ditumpukkan akan mempunyai lebar sekitar satu setengah meter. Ditulis
dengan menggunakan pena yang terbuat dari pohon Aren. Tidak diketahui
siapa penulisnya tapi yang pasti penulisannya diperintahan oleh
Sisingamangaraja XI dalam sebuah usaha untuk memajukan peradaban Batak
pada era pemerintahannya.
Jilid
1 sampai dengan 10, berupa kitab raja-raja kerajaan atau “Book of
Kings” seperti Pararaton, Tambo atau Sejarah Melayu dan lain sebagainya.
Jilid
11 sampai dengan 23, merupakan annals (dokumentasi tahunan) perihal
pemerintahan Sisingamangaraja XI di Bakkara. Bila buku ini diterbitkan
kembali maka kemasyhurannya dipastikan akan menyamai kitab-kitab
Majapahit ala Prapanca.
Secara
rinci mulai dari jilid 1 sampai dengan 3 berisikan informasi mengenai
pemerintahan Dinasti Sorimangaraja selama 90 generasi di Sianjur Sagala
Limbong Mulana di kaki gunung Pusuk Buhit.
Jilid
satu dimulai dengan kalimat Ta Pa Da Na Da Na A A Sa Na yang berarti
kisah tentang Putri Tapidonda Nauasan, ibu suri dari suku bangsa Batak.
Diyakini oleh kepercayaan agama orang-orang Batak saat itu, diturunkan
dari ‘banua ginjang” oleh Debata Mulajadi Na Bolon.
Jilid
2 berisi kisah pemisahan diri orang-orang Batak Simalungun dari
kekuasaan Dinasti Sorimangaraja dan mendirikan kerajaan Nagur. Menyusul
pula orang-orang Batak Karo yang mendirikan kerajaan Haru Wampu serta
kesetiaan orang Mandailing, Angkola dan Sipirok terhadap pemerintah
berkuasa saat itu.
Jilid
3 berisi tentang file-file mengenai keistimewaan dan kesaktian
raja-raja Batak. Legenda-legenda mengenai raja misalnya Sorimangaraja XC
yang diyakini dapat menerbangkan benda mati ke udara, demikian juga
dari pihak marga Simanullang dan Sinambela yang dapat menerbangkan
pedangnya. Semuanya menjelaskan peristiwa konstalasi politik kuno dalam
sebuah cerita perumpamaan dimana Dinasti Sorimangaraja dijatuhkan oleh
orang-orang marga Simanullang dan dijatuhkan lagi oleh pihak Sinambela
Jilid
4 samapi 7 berisi dokumentasi pemerintahan Dinasti Sisigamangaraja di
Bakkara. Semuanya berisi mengenai kelahiran raja dan pengangkatannya dan
lain sebagainya. Setiap peristiwa itu juga dibarengi dengan penjelasan
mengenai kejadian alam yang menyusul terjadi.
Di
jilid ini juga diceritakan bahwa Sultan Alauddin Muhammad Syah, seorang
Sultan Aceh, mengadakan perjanjian kenegaraan dengan pihak
Singamangaraja IX dalam kerjasama pertahanan. Sisingamangaraja IX
melepaskan pengaruhnya dari Singkil serta daerah Uti Kiri definitif
kepada pihak Aceh. Sebagai imbalannya pihak Aceh menyerahkan pengaruhnya
di daerah Uti Kanan dengan ibukotanya Lipatkajang ke pihak
Singamangaraja IX. Barus yang dikuasai oleh pihak Dinasti Pardosi dan
Dinasti Pasaribu Hatorusan (Tuanku Hulu dan Hilir) ditetapkan sebagai
zona netral. Sementara itu pihak Aceh mengakui pengaruh Sisingamangaraja
IX atas wilayah Simalungun dan kawasan Karo berada dalam pengaruh Aceh.
Dikisahkan
juga perihal peristiwa suaka politik Pangeran Gindoparang Sinambela
yang diusir oleh Singamangaraja IX ke wilayah Uti. Gindoporang Sinambela
sekarang ini menjadi leluhur komunitas muslim Sinambela di Singkil.
Perihal keluarga Gindoparang dan anaknya Faqih Sinambela yang menjadi
seorang Jenderal di pihak Padri didapat oleh sejarawan Sutan Martua Raja
dari sebuah catatan keluarga orang-orang muslim marga Sinambela di
Singkil. Di sana kebanyakan mereka menjadi guru-guru agama Islam yang
menikah dengan orang-orang marga Pohan dari Barus.
Jilid
7 ditutupi dengan sebuah dokumentasi peristiwa tragis yang menimpa
Singamangaraja IX yang hendak mencoba sepucuk bedil hadiah dari Sultan
Aceh. Dia menembak mati satu ekor gajah yang mengakibatkan dirinya
hancur lebur diinjak oleh gajah-gajah yang lain.
Jilid 8 seluruhnya berisi dokumentasi pemerintahan Singamangaraja X serta peristiwa konflik kerajaan dengan kekuatan Padri.
Jilid 9 berisi mengenai mitos kepala terbang.
Jilid
10 mengenai kehidupan Amantagor Manullang selama memerintah di Bakkara
sebelum era Dinasti Sisingamangaraja. Dia tewas dan dibunuh oleh orang
yang tak dikenal di dataran tinggi Tele dan dikuburkan di Paranginan,
Humbang. Daerah ini sampai sekarang masih sangat rawan dan menjadi
sarang para perampok dan bajing loncat. Sebelum Tele ada sebuah daerah
yang bernama Dolok Partangisan yang dianggap angker dan seram karena
diyakini dulunya menjadi pusat pengajaran mistik dan membutuhkan
pengorbanan nyawa anak manusia.
Di
jilid 10 ini pula diinformasikan mengenai kedatangan orang Eropa yang
disebut sebagai Si Bontar Mata oleh bahasa Batak yang memasuki Silindung
tapi tidak melalui Bukit Sigompulon. Agama yang mereka bawa, katanya,
ditolak oleh orang-orang Batak. Tidak disebutkan mengapa.
Jilid
11 berisi mengenai informasi penobatan Sisingamangaraja XI dalam usia
10 tahun akan tetapi telah bersikap sangat bijaksana.
Jilid
11 sampai dengan 23, merupakan file-file pemerintahan Ompu Sohahuaon
yakni Sinagamangaraja XI. Juga mengenai penanggalan pemerintahan yang
dimulai dari penobatannya sebagai raja. Menyerupai angka tahun Jepang.
Tahun
I dalam penanggalan Sisingamangaraja XI sama dengan tahun 1830 M. Di
ajaran parmalim juga terdapat penanggalan yang berdasarkan pada era
Dinasti Uti dimana tahun 497 Masehi sama dengan tahun 1450 tahun Batak.
Tahun ini dipercaya merupakan tahun berdirinya agama parmalim.
Sementara itu jilid 23 ditutup dengan tahun ke-37 dari pemerintahan Sisingamangaraja yang berarti tahun 1866 M.
Singamangaraja
XI menyesuaikan permulaan tahun dengan permulaan Tinki Ni Pangkuron
yakni musim mencangkul sawah. Ini berarti tahunnya disesuaikan dengan
musim hujan yang di tanah Batak adalah pada pertengahan November. Untuk
tanda diambillah bintang na pintu yakni Orion sementara tenggelamnya
bintang hala yakni Skorpio.
Permulaan
bulan dihitung degan naiknya bulan. Sehingga tula yakni malam terang
bulan purnama selamanya jatuh pada tanggal 15 seperti penanggalan tahun
Hijriyah. Sepuluh bulan pertama tidak diberi nama akan tetapi hanya
penomoran seperti bulan sapaha sada sampai dengan bulan sapaha sappulu.
Sementara itu bulan yang ke-11 bernama bulan hala dan bulan ke-12
bernama bulan hurung.
Para
ahli astronomi kerajaan mengerti bahwa penanggalan berdasarkan bulan
berbeda dengan penanggalan berdasarkan bintang selama 11 hari setiap
tahun. Akibatnya, permulaan dari bulan sapaha sada yang begitu penting
untuk mencangkul sawah turut pula bergeser 11 hari dari timbulnya
bintang na pitu. Singamangaraja XI juga mengadakan bulan na badia yakni
bulan ketigabelas yang diselipkan antara bulan hurung dan bulan sapaha
sada. Tujuannya, agar perhitungan waktunya tepat pada permulaan tahun
dengan timbulnya bintang na pitu, tepat dengan permulaan musim hujan dan
permulaan musim mencangkul sawah.
Jilid 11 dan 12 kondisinya sangat rusak.
Jilid
13 sampai dengan jilid 16 mengenai periode pembangunan ibukota Bakkara
dan daerah Toba dalam periode 1835-1846. Termasuk penataan pertanian,
peternakan, penetapan geografis negeri-negeri dan juga pembangunan yang
bersifat sosial dan poltik.
Dalam
jilid 14 disebutkan bahwa Singamangaraja XI mengadakan kunjungan
kenegaraan ke Aceh dalam usia 24 tahun. Tujuannya untuk mengikuti
pendidikan militer di Indrapuri selama 2 tahun. Di sana dia satu kelas
dengan pangeran Ali Muhammad Syah, Tengku Mahkota Kesultanan Aceh.
Di
sini juga disebutkan nama Teku Nangta Sati, ayah dari Cut Nya’ Dien dan
mertua dari Teuku Umar, yang ikut ke Bakkara bersama Singamangaraja XI
selaku ‘Chief Aceh Military Mission’ yang pertama. Selama Singamangaraja
XI di luar negeri, pemerintahan kerajaan di dalam negeri dipegang oleh
Panglima Panibal Simorangkir, putra dari Panglima Jomba Simorangkir,
pengawal setia Singamangaraja XI.
Dalam
jilid 16 dicatat bahwa telah lahir putra mahkota Parobatu di tahun
ke-16 dari pemerintahan Singamangaraja XI yakni tahun 1845 M. (Dia kelak
memerintah antara tahun 1867-1907)
Jilid
17 menceritakan datangnya dua orang Eropa, Si Junghun dan Si Pandortuk –
the big nose yakni Dr. Junghuhn dan Dr. van der Tuuk. Momen inilah yang
membuat adanya kesempatan bagi orang asing mengabadikan foto
Singamangaraja XI. Van der Tuuk merupakan orang kulit putih satu-satunya
yang pernah diijinkan menginap di Bakkara karena dia menyampaikan salam
kepada Sinagamangaraja XI, dari abangnya Putra Mahkota Lambung
Sinambela di Roncitan, Sipirok.
Jilid
21 berisi informasi mengenai kunjungan Singamangaraja XI pada tahun
1865 kepada pendeta Nommensen di Huta Damai untuk menagih pajak atau
cukai berupa ‘nyonya kulit putih’.
Dalam
jilid 23 disebutkan bahwa dalam pemerintahan yang ke-36 Singamangaraja
XI di tanah Batak Utara mengamuk lagi Begu Attuk, plague epidemic, serta
Begu Arun yakni kolera. (Singamangaraja XI sendiri diketahui meninggal
karena kolera)
Di
jilid ini disebutkan juga bahwa Putera Mahkota Parobatu ditugaskan
selama dua tahun untuk mengikuti pendidikan militer di Aceh pada tahun
1864-1866.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar