Peran Zending dalam Perang Toba (9-Habis)
Kesimpulan Buku :”Utusan Damai di Kemelut Perang, Peran Zending dalam Perang Toba”,
Berdasarkan Laporan L.I. Nommensen dan Penginjil RMG Lain, karya Prof. Dr. Uli Kozok, seorang professor kelahiran Jerman.
Prof.
Uli Kozok membuka bukunya dengan sebuah kutipan seorang tokoh Gereja
se-Dunia, Ph. Potter: “Gerakan penginjilan […] bermula bertepatan dengan
waktu munculnya kolonialisme, imperialisme dan – sebagai akibatnya –
rasisme. Oleh sebab itu maka gerakan penginjilan secara hakiki terkait
dengan sejarah rasisme.”
Berdasarkan
dokumen-dokumen di lembaga misi di Jerman yang mengirimkan Nommensen ke
Tanah Batak, yaitu Rheinische Missions-Geselschaft (RMG), Prof. Uli
Kozok menemukan fakta pengakuan Ludwig Ingwer (L.I.) Nommensen, tokoh
misionaris Jerman di Tanah Batak, bahwa dia bergabung dengan pasukan
Belanda untuk melawan gerakan perlawanan para pahlawan Batak yang
dipimpin Sisingamangaraja XII. Laporan Berichte Rheinische
Missionsgeselschaft (BRMG), menunjukkan, para penginjil justru bersekutu
dengan tentara penjajah dalam menumpas perlawanan Sisingamangaraja XII.
Lebih jauh Prof. Kozok mencatat:
“Pemerintah
Belanda akhirnya mengabulkan permintaan Nommensen, sehingga terbentuk
koalisi Injil dan pedang yang sangat sukses karena kedua belah pihak
memiliki musuh yang sama: Sisingamangaraja XII yang oleh zending dicap
sebagai “musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zending Kristen.”
Bersama-sama mereka berangkat untuk mematahkan perjuangan
Sisingamangaraja. Pihak pemerintah dibekali dengan persenjataan,
organisasi, dan ilmu pengetahuan peperangan modern, sementara pihak
zending dibekali dengan pengetahuan adat istiadat dan bahasa. Kedua
belah pihak, zending Batak dan pemerintah kolonial, saling membutuhkan
dan saling melengkapi, dan tujuan mereka pun pada hakikatnya sama:
memastikan bahwa orang Batak “terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk
pada kekuasaan Eropa. (BRMG 1882:202)” (hal. 92).
Dalam
perang menumpas perjuangan Sisingamangaraja XII, pihak zending Kristen
berhasil meyakinkan ratusan raja di tanah Batak agar berhenti mengadakan
perlawanan dan menyerah kepada kekuasaan Belanda:
“Dukungan
dan bantuan para misionaris yang mendampingi ekspedisi militer hingga
ke Danau Toba juga mempunyai tujuan lain, yaitu meyakinkan masyarakat
bahwa perlawanan mereka sia-sia saja dan mendesak mereka agar
menyerahkan diri.” (JB 1878:31). (hal. 93).
Sementara,
para raja yang tidak mau menyerah, didenda dan kampung mereka dibakar.
Atas jasa para misionaris, terutama Nommensen dan Simoncit, pemerintah
kolonial Belanda memberikan penghargaan resmi, melalui sebuah surat:
“Pemerintah
mengucapkan terimakasih kepada penginjil Rheinische
Missions-Geselschaft di Barmen, terutama Bapak I. Nommensen dan Bapak A.
Simoncit yang bertempat tinggal di Silindung, atas jasa yang telah
diberikan selama ekspedisi melawan Toba. (BRMG 1879:169-170).” (hal.
93-94).
Selain
surat penghargaan, para misionaris juga mendapat hadiah sebesar 1000
Gulden dari pemerintah kolonial yang dapat diambil setiap saat.
Kerjasama antara misionaris Kristen dan penjajah Belanda berlangsung
sampai Pahlawan Sisingamangaraja XII tewas dalam pertempuran tahun 1907.
Dukungan kaum misionaris kepada pemerintah penjajah juga dimaksudkan
untuk mencegah masuknya Islam ke Tanah Batak. (BRMG 1878:94).
Sikap
pro-penjajah dari kaum Misionaris bukan hanya saat Perang Toba melawan
Sisingamangaraja XII. Sikap para misionaris Kristen ini masih terus
berlangsung di kemudian hari. BRMG 1897: 278-279 menulis laporan
berjudul “Wie weiter auf Sumatra?” (Bagaimana Kelanjutannya di
Sumatra?). Batakmission mengaku mengalami kendala untuk melakukan misi
Kristen di Samosir, sebab Samosir masih merupakan “Tanah Batak Merdeka”.
Selanjutnya, BRMG mencatat:
“Oleh sebab itu, “dapat dimengerti bahwa penginjil kita sangat menghendaki agar pemerintah Belanda menduduki Samosir.” Lagipula, konferensi penginjil tahun 1897 telah memutuskan bahwa “penginjilan dapat dilakukan dengan lebih tenang dan dengan lebih banyak sukses di bawah perlindungan pemerintah Eropa.” (hal. 103).
“Oleh sebab itu, “dapat dimengerti bahwa penginjil kita sangat menghendaki agar pemerintah Belanda menduduki Samosir.” Lagipula, konferensi penginjil tahun 1897 telah memutuskan bahwa “penginjilan dapat dilakukan dengan lebih tenang dan dengan lebih banyak sukses di bawah perlindungan pemerintah Eropa.” (hal. 103).
Menurut
catatan sejarah, kerjasama misionaris Kristen Batak dengan penjajah
Belanda diakui dengan bangga oleh para misionaris Batak. Belanda juga
mempersenjatai kaum Kristen Batak dengan 50 bedil. Sebab, jika orang
Batak menjadi Muslim, mereka tidak mungkin setia kepada pemerintah
penjajah. BRMG 1878:154 mencatat:
“Betapa
orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang. Sebagai
orang Islam, orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada
Belanda. […] memang benar orang Silindung yang Kristen adalah teman
setia Belanda, dan pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan
Belanda.”. (hal. 106).
Dalam
surat-surat yang dikirim tokoh misionaris I. Nommensen, tampak jelas
digunakannya istilah “musuh” untuk Sisingamangaraja XII dan rakyat Batak
yang berusaha mempertahankan kemerdekaan mereka. Misalnya, dia tulis:
“Setelah kami bekerja dengan tenang selama beberapa hari, musuh kami
yang jahat bergerak lagi”… “Kebanyakan musuh berasal dari daerah sekitar
Danau Toba, dari Butar dan Lobu Siregar, digerakkan oleh
Sisingamangaraja, seorang demagog yang menghasut dan mencelakakan
rakyatnya.” (hal. 107).
Dalam
suratnya yang lain, Nommensen mencatat: “Hal yang paling penting adalah
bahwa Toba keluar dari isolasinya, terbuka pada pengaruh Eropa dan
tunduk pada kekuasaan Eropa sehingga dengan sangat mudah zending kita
bisa masuk… (BRMG 1882:302).” (hal. 108).
Sebuah
surat tentang pentingnya penaklukan Toba oleh penjajah Belanda dan misi
Kristen dalam rangka menghambat masuknya pengaruh Islam, ditulis oleh
laporan BRMG 1882 (7): 202-205:
“Perang
dan penaklukan Toba sangat mendukung dan mempercepat pembukaan pos
penginjilan. Walaupun tidak secara langsung, para penginjil kita di
Silindung memainkan peranan yang cukup besar dalam ekspedisi militer
Belanda terhadap Toba. Upaya mereka untuk menyebarkan Injil di Silindung
mendapatkan perlawanan dari Sisingamangaraja yang dulu maupun
Sisingamangaraja yang sekarang. Karena sudah kehilangan sebagian besar
kekuasaannya, keduanya berusaha memperoleh kembali pengaruhnya yang
hilang dengan mengusir para penginjil. Sisingamangaraja terutama
memusuhi agama Kristen, akan tetapin karena ia bersekutu dengan orang
Aceh di Utara maupun dengan Batak Islam di Timur maka kegiatan mereka
juga memusuhi pemerintah Belanda. Dengan demikian sangat bijaksana
keputusan pemerintah untuk langsung bertindak memperluas dan memperkokoh
kekuasaannya, mengingat tindak-tanduk orang Aceh dan jaringan mereka
yang makin hari makin ketat dan luas.” (hal. 153-154).
Dalam
bukunya, Prof Uli Kozok juga menunjukkan data bahwa hubungan erat
antara misi Kristen dan Penjajahan memang sudah menjadi suatu kelaziman.
Paus Pius XI, misalnya, melalui surat kabar Vatikan, Osservatore
Romano, 24 Februari 1935, pernah secara eksplisit mengeluarkan
pernyataan yang mendukung penjajahan:
“Penjajahan
merupakan keajaiban yang diwujudkan dengan kesabaran, keberanian dan
cinta kasih. Tiada bangsa atau ras yang berhak hidup terisolir.
Penjajahan tidak berlandaskan penindasan tetapi berdasarkan prinsip
moralitas tertinggi, penuh dengan cinta kasih, kedamaian dan
persaudaraan. Gereja Katolik senantiasa mendukung penjajahan, asal
dilaksanakan dengan jujur dan manusiawi tanpa menggunakan kekerasan.
Oleh sebab itu kami melihatnya sebagai sesuatu yang memiliki daya dan
keindahan yang luar biasa.” (hal. 85-86).
Bukan
hanya kolonialisme, ideologi rasisme juga ditanamkan kepada para
misionaris dari Rheinische Missions-Geselschaft (RMG). Seorang petinggi
RMG, Ludwig von Rohden (1815-1889), berpendapat bahwa semua manusia
adalah keturunan Nabi Nuh, yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru
dunia. Ada lima warna kulit yang dimiliki keturunan Nabi Nuh itu: putih,
kuning, merah, coklat dan hitam. Menurutnya, warna kulit ditentukan
oleh kadar dosa masing-masing. Semakin berdosa sebuah bangsa, maka akan
semakin hitam warna kulitnya. Kata Ludwig von Rohden dalam sebuah
tulisannya:
“Secara
bertahap-tahap manusia menjauhkan diri dari sumber kehidupan ilahi.
Semakin jauh [sebuah bangsa] menjauhkan diri, semakin merosot moral dan
kecerdasan, seiring dengan itu juga postur, bentuk tubuh dan warna
kulitnya. Bangsa yang paling dekaden mendapatkan warna kulit paling
hitam, dan bentuk tubuhnya menjadi mirip dengan binatang. Namun
perbedaan hakiki antara manusia dan binatang masih tetap ada: ialah jiwa
yang dihembuskan Allah kepada jasad sebagai bagian kehidupan ilahi.”
(hal. 59).
Menurut Rohden, bangsa berkulit hitam bisa menjadi putih kulitnya jika mereka menjadi Kristen:
“Negro
yang paling rendah derajat pun masih bisa diangkat menjadi manusia
terdidik bila dididik dengan cara yang tepat melalui pengaruh
Kekristenan yang bersifat menyembuhkan. Seiring dengan [proses
penyembuhan] itu, maka raut muka yang kebinatangan menghilang, pandangan
mata dan tubuhnya akan menjadi lebih sempurna, bahkan warna kulitnya
secara turun-temurun bisa menjadi lebih putih.” (hal. 60).
Itulah fakta dan data tentang misi Kristen yang ditampilkan Prof. Uli
Kozok – guru besar dan ketua jurusan bahasa Indonesia di Universitas
Hawai. Gambaran misi Kristen yang berkolaborasi dengan penjajah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar