Kerajaan Arsipelago (Bagian Sunda-Galuh)
Karajaan
Tarumanagara didirikan pada 358 M oleh Rajadirajaguru Jaya Singawarman
ibukota di sekitar Sungai Gomati (sekrang Kali Bekasi). Sebelumnya,
Rajadirajaguru memerintah Kerajaan Salakanagara di Ceylon (Srilangka).
Bukti-bukti keberadaan Tarumanagara diperoleh dari luar negeri dan di
dalam negeri berupa tujuh artefak batu tulis , baik yang ditulis dalam
Sansekerta dan huruf Pallawa sampai yang ditulis aksara Sunda kuno
(perkembangan Pallawa dengan model aksara Kamboja). Bukti tertulis yang
tertua adalah dibuat pada pemerintahan Purnawarman, raja ketiga, pada
395-434M dengan ibukota baru Sundapura. Selain itu terdapat catatan dari
penulis China sekitar 414 tentang keberadaan Yo-po-ti (Jawadwipa atau
Way Seputih), serta naskah Dinasti Sui pada 528-535 sampai Dinasti Tang
pada 666-669 tentang keberadaan To-lo-mo (Taruma). Dalam catatan
tersebut tiga kepercayaan yang dianut, Hindu dan animisme serta sedikit
Buddha di Srivijaya Sumatera.
Salah
satu kerajaan bawahan dari Tarumanagara adalah Kendan, berdiri pada
536M dengan warna Hindu-Wisnu yang berpusat di Garut dengan peninggalan
yang tersebar di sekitar Bandung Selatan dan Garut. Pendirinya adalah
Resiguru Manikmaya dari India Selatan yang menikahi salah satu putri
Tarumanagara. Kerajaan ini saling berbesanan dengan salah satu Kerajaan
Sumatera, serta dengan Kerajaan Kutai di kalimatan Timur. Keturunannya
kemudian menyebar di berbagai tempat di Priangan (Parahyangan). Salah
satu turunan termudanya menjadi rajaresi di usia 21 tahun pada 612M,
memindahkan kerajaannya ke Kerajaan Galuh di Ciamis.
Kerajaan
Tarumanagara tercatat sampai pemerintahan Linggawarman 666 – 669M,
karena pada saat tahta diserahkan ke Tarusbawa, raja Sundapura, Galuh
memisahkan diri, sehingga Tarumanegara kemudian menjadi Kerajaan Sunda
(asalnya kerajaan Sundapura) dengan wilayah mulai dari Sungai Citarum ke
Barat (Selat Sunda) dan Galuh mengambil dari Citarum ke Timur sampai
Sungai Cipamali (sekarang Kali Brebes), sampai ke Selatan yang sekarang
wilayah Banyumas. Kerajaan Sunda dipimpin oleh 40 raja pada 669-1579M
dimulai oleh Tarusbawa sampai Prabu Suryakencana.
Pada
923 ibu kota kerajaan pindah ke Pajajaran (sekarang Bogor, dinamakan
Pajajaran karena pusat pemerintahan terdiri dari bangunan yang
berjajar), sehingga nama Kerajaan Sunda sering disebut sebagai Kerajaan
Pajajaran, seperti yang tercatat pada Prasasti Sanghyang Tapak. Secara
pemerintahan, sejak awal abad 11, kerajaan-kerajaan yang tegabung dalam
Sunda dan yang tergabung dalam kerajaan Galuh kembali bersekutu.
Sehingga pusat pemerintahan bisa ada di kerajaan Sunda atau Galuh.
Bahkan terjadi perkawinan di antara turunan raja-raja Sriwijaya, Kutai,
Majapahit bahkan sampai Chola- India. Tujuannnya agar kerajaan-kerajaan
tersebut tidak melakukan perebutan wilayah. Dan turunan hasil perkawinan
itu pun kemudian banyak yang menjadi raja-raja Kerajaan Sunda-Galuh
yang berkedudukan di pusat pemerintahan Kerajaan Sunda atau Kerajaan
galuh.
Tetapi
hal yang tidak diinginkan pun terjadi pula, pada awal 1400an perebutan
keadipatian di kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Kertabumi
(Brawijaya V) akhirnya pecah. Kerabat keraton Majapahit banyak yang
mengungsi ke Sunda atau Galuh. Seorang saudara Prabu Kertabumi bahkan
menikah dengan putri Dewa Niskala dari Galuh. Ini membuat marah Raja
Susuktunggal dari Pajajaran, yang juga besan Raja Niskala, karena mereka
pernah membuat perjanjian tabu menikahkan dengan turunan Majapahit
akibat kejadian Perang Bubat. Untungnya, kemudian dewan penasehat
berhasil mendamaikan keduanya dengan keputusan, kedua raja itu harus
turun dari tahta dan menyerahkan tahta kepada putera mahkota yang
ditunjuk. Kedua mantan raya menunjuk orang yang sama Jayadewata, anak
Niskala atau mantu Susuktunggal, sebagai penerus kekuasaan.
Demikianlah,
akhirnya Jayadewata yang bergelar Sri Baduga Maharaja mulai memerintah
Kerajaan Sunda-galuh pada 1482, yang berubah nama resmi menjadi Kerajaan
Pakuan Pajajaran, karena pakuan atau pakuwuan merupakan bangunan tempat
tinggal raja-raja dari semua gabungan kerajaan Sunda-Galuh.
Itulah awal resmi Kerajaan (Pakuan) Pajajaran, dengan raja pertamanya Sri Baduga Maharaja.
Raja Sunda ke-19 Prabu Sanghyang Ageng (1019 – 1030 M), berkedudukan di Galuh.
Raja Sunda ke-20 Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030‚ – 1042 M ), berkedudukan di Pakuan.
Raja Sunda ke-21 berkedudukan di Galuh
Raja Sunda ke-22 berkedudukan di Pakuan
Raja Sunda ke-23 berkedudukan di Pakuan
Raja Sunda ke-24 memerintah di Galuh
Raja Sunda ke-25 PRABU GURU DHARMASIKSA, berkedudukan di Saunggalah, pindah ke Pakuan.
Raja Sunda ke-26 Prabu Ragasuci (1297 – 1303M) berkedudukan di Saunggalah,
Raja Sunda ke-27 Prabu Citraganda (1303 – 1311 M), berkedudukan di Pakuan.
Raja Sunda ke-28 Prabu Lingga Dewata (1311 – 1333), berkedudukan di Kawali.
Raja Sunda ke-29 Prabu Ajiguna Wisesa (1333 – 1340), berkedudukan di Kawali,
Raja Sunda ke-30 Prabu Maharaja Lingga Buana (1340 – 1357). Galuh
Raja Sunda ke-31 MANGKUBUMI SURADIPATI atau PRABU BUNISORA, Galuh
Raja Sunda ke-32 Prabu Raja Wastu atau Niskala Wastu Kancana(1371-1475). Galuh
Catatan: Ada dua penerus sah dari tahta KERAJAAN SUNDA yang menjadi raja besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
- Sanjaya
/ Rakeyan Jamri / Prabu Harisdama, raja ke 2 Kerajaan Sunda-Galuh(723 –
732M), menjadi raja di Kerajaan Mataram (Hindu) (732 – 760M). Ia adalah
pendiri Kerajaan Mataram Kuno, dan sekaligus pendiri Wangsa Sanjaya.
2. Raden Wijaya, penerus sah Kerajaan Sunda ke – 26, yang lahir di Pakuan, dan dikemudian hari menjadi Raja Majapahit pertama (1293 – 1309 M). - Raja sunda ke-25 Dharmasiksa mempersiapkan RAKEYAN JAYADARMA, PUTRA MAHKOTA, menikah dengan DYAH LEMBU TAL anak MAHISA CAMPAKA (Jawa Timur). Mahisa Campaka adalah anak dari MAHISA WONGATELENG, yang merupakan anak dari KEN ANGROK dan KEN DEDES dari kerajaan SINGHASARI. SANG NARARYA SANGGRAMAWIJAYA (putra Rakeyan Jayadarma dan Dyah Lembu Tal) atau lebih dikenal dengan nama RADEN WIJAYA (lahir di PAKUAN). Dengan kata lain, Raden Wijaya adalah turunan ke 4 dari Ken Angrok dan Ken Dedes. Rakeyan Jayadarma mati dalam usia muda sebelum dilantik menjadi raja. Akhirnya Wijaya dan ibunya diantarkan ke Jawa Timur. Dalam BABAD TANAH JAWI, Wijaya disebut pula JAKA SUSURUH dari PAJAJARAN yang kemudian menjadi Raja MAJAPAHIT yang pertama. Kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota karena Wijaya berada di Jawa Timur. Jadi, sebenarnya, RADEN WIJAYA, Raja MAJAPAHIT pertama, adalah penerus sah dari tahta Kerajaan Sunda yang ke-26.
Raja-raja yang memerintah Pakuan Pajajaran adalah:
• Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521)
• Surawisesa (1521 – 1535)
• Ratu Dewata (1535 – 1534)
• Ratu Sakti (1543 – 1551)
• Ratu Nilakendra (1551 – 1567)
• Raga Mulya atau Prabu Suryakencana (1567 – 1579)
Pada
jaman Raja Surawisesa, Pakuan Pajajaran membuat perjanjian persahabatan
dengan Potugis yang tercantum pada Tugu Pajajaran-Portugis, Prasasti
Kebon Kopi, dimana Portugis diijinkan untuk membuat gudang dagangnya di
Sunda Kalapa, agar Portugis membantu dalam menghadapi Kerajaan Demak.
Pada 1527, armada Demak dibawah Sultan Falatehan, panglima asal Gujarat,
merebut Banten, Cirebon dan Sunda Kalapa, setelah sebelumnya
melumpuhkan Majapahit dan sejumlah kerajaan Hindu lainnya.
Wilayah-wilayah tersebut akhirnya juga memeluk agama Islam, serta Sunda
Kelapa dirubah menjadi Jayakarta di bawah Banten, yang kemudian lepas
dari Pajajaran menjadi Kesultanan Banten dengan Hasanuddin sebagai
Sultan dan Syeh maulana Yusuf sebagai putra mahkota. Namun Kerajaan
Pakuan Pajajaran tetap bertahan.
Berdasarkan
alur cerita Kerajaan Sumedang Larang yang beribukota di Kutamaya, empat
bersaudara Panglima Perang Pajajaran yaitu Jayaperkosa, Sanghyang Hawu,
Terong Peot dan Nanganan diperbantukan untuk memperkuat dan membawa
amanat agar Kerajaan Sumedang Larang meneruskan pemerintahan Pajajaran
apabila Pajajaran berakhir. Pangeran Geusan Ulun adalah putra Pangeran
Santri, beserta rakyat Sumedang sudah memeluk Islam sehingga tidak
menjadi sasaran Demak (Mataram). Namun keempat Panglima yang menjadi
tumpuan membuat Raja Sumedang Larang yang merasa juga sebagai calon raja
Pajajaran terjun ke kancah peperangan.
Versi
lain menyebutkan bahwa Cirebon menyerang Sumedang Larang dikarenakan
Permaisuri Cirebon, Harisbaya, lari ke Sumedang untuk dipersunting
Pangeran Geusan Ulun yang tampan, putih dan tinggi. Sampai akhirnya
Kerajaan Sumedang Larang diserahkan oleh Pangeran Geusan Ulun kepada
Mataram dan pemerintahan diteruskan oleh turunannya dari permaisuri
Harisbaya menjadi daerah kebupatian. Versi lainnya adalah Pangeran
Geusan Ulun adalah putra Sultan Cirebon yang diculik pada saat bayi oleh
keempat Panglima tersebut beberapa tahun sebelumnya. Bayi tersebut
adalah anak permaisuri yang Putri China, yang kemudian bernama
Harisbaya. Harisbaya berusaha menyusul anaknya ke Sumedang Larang.
Pangeran Santri yang dititipi ahli waris Pajajaran yang asal Cirebon,
mengangkatnya menjadi Raja Anom Sumedang.
Pada
1578, Cirebon, Demak dan Bali menaklukan Sumedang Larang, Pangeran
Geusan Ulun terbunuh. Berakhirlah kerajaan Sumedang Larang tanpa
memiliki keturunan. Pusat kerajaan dipindahkan ke kota Sumedang yang
sekarang dan pemerintahan sementara dipegang oleh Raja Bali sampai
akhirnya Sumedang diserahkan kepada turunan Permaisuri Sultan Cirebon
sebagai kabupatian pada 1620.
Pangeran
Geusan Ulun terbunuh sebelum Pajajaran jatuh. Apakah juga keempat
Panglima terbunuh? Namun rakyat percaya bahwa keempat Panglima
menghindar ke Selatan, yang oleh sebagian rakyat Jawa Barat bersama-sama
dengan Prabu Suryakencana menghilang (tilem) ke dalam hutan Sancang.
Dari
catatan sejarah yang tersebar, Demak dipimpin langsung Sultan Agung
kembali menyusun serangan terhadap Pajajaran, dibantu oleh Cirebon dan
Bali. Saat menghadapi Demak dan sekutunya, Pajajaran diserang dari
belakang oleh pasukan Maulana Yusuf, Sultan Banten. Akhirnya Kerajaan
Pajajaran berakhir pada tahun 1579. Sultan Maulana Yusuf sendiri
menganggap dirinya sah meneruskan kekuasaan Pajajaran, karena merupakan
keturunan dari salah satu puteri Sri Baduga Maharaja.
Menurut
cerita, sisa dari para perwira (punggawa) Pajajaran lainnya akhirnya
mengasingkan diri ke hutan di daerah Lebak, Banten. Keturunan dari
perwira itu sekarang biasa kita sebut sebagai orang Baduy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar