Teori Hukum Murni Hans Kelsen (2) Normativisme
NORMATIVISME
Kelsen seringkali digambarkan, seperti yang telah
diterangkan di edisi awal buku ini, sebagai seorang positivis. Dan jika,
seperti yang dikemukakan oleh Shiner, positivisme dan, yang disebutnya,
anti-positivisme bersifat lengkap terhadap kemungkinan-kemungkinan spekulasi
mengenai kodrat hukum, maka Kelsen harus dikategorikan sebagai seorang
positivis. Namun normativisme Kelsen secara konseptual berbeda dari tradisi
empiris mengenai positivisme hukum, yang dijunjung tinggi dalam periode pasca
perang oleh Hart. Kelsen menolak positivisme hukum sebab hal tersebut
mencampuradukkan hukum dengan moral. Oleh karenanya Kelsen menjabarkan baik himbauan
terhadap moralitas maupun terhadap fakta. Bagi Kelsen hukum terdiri dari
norma-norma: sebuah norma tidak dapat ditarik dari fakta-fakta, namun hanya
dapat ditarik dari norma yang lain. Hubungan antara norma-norma adalah sebuah
“tuduhan,” dan bukanlah “kausalitas.” Ilmu alam berkaitan erat dengan
penjelasan asal muasal dunia fisik, sementara ilmu normatif, seperti hukum atau
pun etika, berkaitan erat dengan sebuah tindakan yang wajib dilakukan,
berdasarkan ketentuan norma-norma. “Dalam kondisi tertentu, sebuah konsekuensi
mesti terjadi. Ini adalah bentuk ketentuan dari prinsip imputasi.” Oleh sebab
tersebut, hukum alam yang dulu pun ditolak, sama seperti Hume, dengan prinsip
dasar bahwa menciptakan karakter objektif mengenai apa yang harus menjadi normatif
adalah sebuah tindakan yang tidak logis dan tidak diperbolehkan.
Raz telah menunjukkan bahwa normativisme Kelsen dapat
didukung tanpa harus mengacu pada neo-Kantianisme dalam kaitannya dengan
gagasan seperti imputasi normatif. Menurut Raz, Kelsen telah mendahului
“interpretasi kognitivis terhadap semua wacana normatif.” Bagi Kelsen,
proposisi normatif (baik hukum atau pun moral atau lainnya) memperlihatkan
“sebuah kepercayaan terhadap keberadaan norma yang absah, dan sebuah norma
dapat membentuk sebuah nilai. Terdapat sebuah permasalahan dalam hal ini: jika
masuknya hal-hal yang normatif dalam proposisi dijelaskan dengan fakta bahwa
hal tersebut menyatakan keberadaan norma yang mengikat dengan kuasa nilai, maka
proposisi hukum akan nampak seperti sebuah pernyataan moral, dan, mengutip Raz,
“the law dan its existence dan content … seem to be essentially moral facts.”
(“hukum dan keberadaannya dan isinya … nampaknya pada intinya adalah sebuah
fakta-fakta moral.”) Bagaimana hal ini dapat disesuaikan dengan tesis
“kemurnian” Kelsen? Terdapat sebuah dilema di sini: jika proposisi hukum Kelsen
memiliki hal-hal normatif maka proposisi hukum tersebut menyatakan fakta-fakta
moral, dan hal ini menodai “kemurnian” tesisnya. Namun, jika tidak menyatakan
fakta-fakta moral, maka tidak ada hal-hal normatif yang dimasukkan. Seperti
yang dikedepankan oleh Paulson: “Ide bahwa proposisi hukum mungkin mengalami
kekurangan hal-hal normatif adalah sesuatu yang penuh dengan konsekuensi nun
jauh di depan mata, salah satunya adalah fakta bahwa ilmu hukum akan kehilangan
dasarnya dalam mengklaim status khusus sebagai ilmu normatif.” Dan teori Kelsen
akan “runtuh” dalam sebuah teori yang mendekati empiris-positivis.
Raz, seperti yang akan terlihat dalam kutipan darinya dalam
bab ini, menawarkan sebuah rekonstruksi dan sebuah celah melarikan diri bagi
Kelsen. Dia mendorong kita untuk membayangkan sebuah sosok “yang kepercayaan
moralnya identik dengan hukum.” Para ilmuwan
hukum mempelajari hukum sebagai sebuah sistem normatif namun hal ini tidak
mengikat mereka terhadap normativitas tersebut. Proposisi hukum yang dirumuskan
oleh para ilmuwan hukum bersifat konsidional: “Jika para ahli hukum benar, maka
seseorang harus melakukan hal tersebut dan seterusnya.” Atau, mengubah hal ini
ke dalam bahasa yang akan digunakan oleh Kelsen: “Jika norma dasarnya absah,
maka seseorang harus melakukan hal tersebut dan seterusnya.” Raz mengklaim cara
ini untuk merekonstruksi ilmu hukum yang memiliki kemurnian dan menjelaskan
hukum sebagai sistem normatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar