Sastra Angkatan 45
Perjalanan Sastra Angkatan 45 dimulai pada tahun 1942. Tahun 1942 (9 Maret = pengambilalihan kekuasaan Jepang di
Indonesia) merupakan tahun yang sangat penting dalam sejarah kebudayaan Indonesia,
termasuk kesusastraannya. Sejak tahun itu terjadilah perubahan besar-besaran,
revolusi kebudayaan dimulai tahun itu.
Segala hal yang mengingatkan budaya Barat harus
dilenyapkan. Bahasa Belanda tidak boleh dipergunakan lagi. Sebagai gantinya dipakai
bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di kantor-kantor dan surat-surat
keputusan.
Pada tahun itu Pujangga Baru berhenti karena Jepang tidak menginginkan sifatnya yang kebarat-baratan. Sastra Balai Pustaka juga terhenti karena pemerintah Belanda (sebagai pendukung kesusastraan ini) telah tumbang.
Pada tahun itu Pujangga Baru berhenti karena Jepang tidak menginginkan sifatnya yang kebarat-baratan. Sastra Balai Pustaka juga terhenti karena pemerintah Belanda (sebagai pendukung kesusastraan ini) telah tumbang.
Kemudian muncullah angkatan sastra baru, Angkatan 45 (sastra angkatan 45), yang
didahului dengan masa pertunasan (sastra zaman Jepang). Angkatan 45 melahirkan
karya-karya sastra yang bersifat romantis realistik (berbeda dengan Pujangga
Baru yang bersifat romatis idealistik = HB Jassin).
![]() |
Angkatan 45 |
Dalam waktu yang singkat, Indonesia menghasilkan banyak karya sastra besar pada angkatan ini. Sajak-sajak Chairil Anwar, roman-roman Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis dan Achdiat Kartamihardja merupakan tonggak-tonggak penting dalam perjalanan sastra Indonesia.
Pengalaman kehidupan nyata merekalah yang membuat
karya-karya angkatan ini menjadi besar. Angkatan 45 rata-rata terganggu
pendidikan formalnya. Kaum sastrawan Angkatan 45 masih termasuk golongan
masyarakat menengah, terdidik, dan kaum muda pada zamannya. Sastra Indonesia
menemukan identitas dirinya sejak angkatan ini.
Sastra Zaman Jepang
Pada bulan April 1943 terbentuklah Keimin Bunka Shidoso
atau Kantor Pusat Kebudayaan. Dalam badan ini duduk berbagai seniman dari
segala lapangan.
Dalam zaman Jepang terbitlah majalah-majalah baru yang
dikelola oleh Pusat Kebudayaan: Jawa Baru (1943—1945) dan Kebudayaan
Timur (1943—1945), di samping Panji Pustaka yang merupakan
peninggalan Balai Pustaka, hanya dipergunakan demi kepentingan Jepang.
Para sastrawan dalam Pusat Kebudayaan diminta menciptakan
karya-karya sastra yang mengandung cita-cita cinta tanah air, mengobarkan
semangat kepahlawanan dan semangat bekerja. Karya sastra harus membimbing
masyarakat. Indonesia harus memihak kebudayaan Timur, menjauhi kebudayaan
Barat. Banyak sajak dan cerpen dihasilkan pada masa ini.
Dua roman yang dihasilkan pada masa ini (Cinta Tanah Air
oleh Nur Sutan Iskandar dan Palawija oleh Karim Halim) lebih
cenderung sebagai propaganda Jepang. Banyak sastrawan seperti Armijn Pane, Nur
Sutan Iskandar, Karim Halim, Usmar Ismail yang bersemangat membantu Jepang.
Merekalah sastrawan-sastrawan “resmi” zaman Jepang.
Aada sejumlah sastrawan yang menentang Jepang seperti
Chairil Anwar, Idrus, dan Amal Hamzah. Ada juga yang lebih kompromistis seperti
karya-karya Maria Amin. Ada juga yang bimbang seperti Bakri Siregar.
Sastrawan yang banyak menulis pada zaman Jepang:
— Usmar Ismail
— Amal Hamzah
— Rosihan Anwar
— Bakri Siregar
— Anas Ma’ruf
— M.S. Ashar
— Maria Amin
— Nursyamsu
— HB Jassin
— Abu Hanifah (El Hakim)
— Kotot Sukardi
— Idrus
Kelahiran
Angkatan Baru
Sejak kekalahan Jepang kepada Sekutu (14 Agustus 1945) dan kemerdekaan
Indonesia, kehidupan kegiatan kebudayaan (termasuk sastra) mempunyai tonggak
yang penting. Suasana jiwa dan penciptaan yang sebelumnya terkekang, kini
mendapatkan kebebasan yang nyata.
Para sastrawan Indonesia merasakan sekali kemerdekaan dan
tanggung jawab untuk mengisinya. Individualitas yang diidamkan oleh Pujangga
Baru (Sutan Takdir Alisjahbana) dilaksanakan penuh konsekuen oleh Angkatan 45.
Sastra Angkatan 45
Nama “Angkatan 45” baru diberikan pada tahun 1949 oleh
Rosihan Anwar, meski tidak disetujui banyak sastrawan. Keberatan itu karena
nama itu kurang pantas ditujukan pula kepada para pengarang, yang notabene
berbeda dengan para pejuang kemerdekaan (yang diberi predikat sebelumnya
sebagai Angkatan 45).
Ada 4 tokoh utama yang sering dianggap sebagai pelopor
Angkatan 45: Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Idrus. Chairil
seorang individualis dan anarkhis. Asrul aristokrat dan moralis. Idrus penuh
dengan sinisme. Rivai lebih dikenal sebagai nihilis.
Surat Kepercayaan Gelanggang adalah pernyataan
sikap dari beberapa sastrawan Indonesia yang
kemudian hari dikenal sebagai Angkatan '45. Di antara para sastrawan ini
yang paling menonjol adalah Chairil Anwar, Asrul
Sani dan Rivai Apin. Surat ini diterbitkan oleh majalah
Siasat pada tanggal 22 Oktober 1950.
Surat Kepercayaan Gelanggang berbunyi sebagai berikut:
Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan
ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan
orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur
dari mana dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo
matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke
depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud
pernyataan hati dan pikiran kami.
Kami tidak akan memberi kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia, kami
tidak ingat akan melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan
untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan
baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan
berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara yang
dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang
segala usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya
pemeriksaan ukuran nilai.
Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai
usang yang harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat, bahwa revolusi
di tanah air kami sendiri belum selesai.
Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok
ditemui adalah manusia. Dalam cara kami mencari, membahas, dan
menelaahlah kami membawa sifat sendiri.
Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah
penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara
masyarakat dan seniman.
Angkatan 45 tidak hanya terdiri dari kaum sastrawan, tetapi
juga seniman lain, termasuk para pelukis seperti: S. Sudjojono, Affandi, Henk
Ngantung, Mochtar Apin, Baharuddin; juga para musikus seperti: Binsar Sitompul
dan Amir Pasaribu.
Karya-karya sastra kala itu masih diterbitkan bersama
dengan sketsa para pelukis, partitur musik, esai musik-lukis-drama-tari. Hal
ini menunjukkan bahwa para sastrawan memiliki wawasan luas dalam bidang seni
dan budaya pada umumnya.
Perkembangan Angkatan 45 Melalui majalah-majalah :
a.
Panca Raya (1945—1947)
b.
Pembangunan
(1946—1947)
c.
Pembaharuan
(1946—1947)
d.
Nusantara (1946—1947)
e.
Gema Suasana
(1948—1950)
f.
Siasat (1947—1959) dgn
lampiran kebudayaan: Gelanggang
g.
Mimbar Indonesia
(1947—1959) dgn lampiran: Zenith
h.
Indonesia (1949—1960)
i.
Pujangga Baru
(diterbitkan lagi 1948; berganti Konfrontasi: 1954)
j.
Arena (di Yogya,
1946—1948)
k.
Seniman (di Solo
1947—1948)
Aliran Sastra Angkatan 45:
Ekspresionisme merupakan aliran seni yang berkembang
setelah kemerdekaan diproklamasikan. Ekspresionisme yang mendasari Sastra Angkatan 45
sebenarnya sudah berkembang lama di Eropa (penghujung abad ke-19) seperti
Baudelaire, Rimbaud, Mallarme (Prancis), F.G. Lorca (Spanyol), G. Ungaretti
(Italia), T.S Eliot (Inggris), G.Benn (Jerman), dan H. Marsman (Belanda).
Aliran ekspresionisme timbul sebagai reaksi terhadap aliran
impresionisme. Dalam sastra Indonesia, Pujangga Baru bersifat impresionistik
dan Angkatan 45 mereaksinya dengan aliran ekspresionistik.
Penyair ekspresionis tidak ditentukan oleh alam, justru
penyairlah yang menentukan gambaran alam. Kritikus pertama yang dapat memahami
sajak-sajak Chairil Anwar ialah HB Jassin. Kritikus ini pulalah yang membela dan
menjelaskan karya-karya Chairil yang bersifat ekspresionis itu.
Berbeda dengan Pujangga Baru yang beraliran romantik
impresionistik sehingga melahirkan sajak-sajak yang harmonis, Angkatan 45
melahirkan sajak-sajak yang penuh kegelisahan, pemberontakan, agresif dan penuh
kejutan. Vitalisme dan individualisme melahirkan sajak-sajak penuh pertentangan
semacam itu.
Karya-karya Penting Angkatan
45:
1.
Deru Campur Debu, Kerikil Tajam (Chairil Anwar)
2.
Atheis (Achdiat Kartamihardja)
3.
Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis)
4.
Keluarga Gerilya (Pramoedya Ananta Toer)
Para
Sastrawan Angkatan 45
a.
Chairil Anwar
b.
Asrul Sani
c.
Rivai Apin
d.
Idrus
e.
Pramoedya Ananta Toer
f.
Mochtar Lubis
g.
Achdiat Kartamihardja
h.
Trisno Sumardjo
i.
Mh. Rustandi
Kartakusuma
j.
M. Balfas
k.
Sitor Situmorang
l.
Utuy Tatang Sontani
m.
S. Rukiah
n.
Barus Siregar
o.
Rustam Sutiasumarga
p.
Muhamad Dimyati
q.
Saleh Sastrawinata, S
r.
Mundingsari, Gayus
Siagian
s.
Dodong Djiwapradja
t.
Mahatmanto, Sirullah
Kaelani
u.
Piet Sengojo
v.
Darius Marpaung
w.
Ida Nasution
x.
Siti Nuraini
Nama-nama
lain untuk angkatan sastra periode ini adalah:
Angkatan
Kemerdekaan
Angkatan
Chairil Anwar
Angkatan
Perang
Angkatan
Sesudah Perang
Angkatan
Sesudah Pujangga Baru
Angkatan
Pembebasan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar